Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemuda Penyelamat Biota Laut dari Sampah itu Bernama Radith

Kompas.com - 04/12/2023, 06:00 WIB
Sigiranus Marutho Bere,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

KUPANG, KOMPAS.com - Sebuah bungkusan mie instant merek ternama Tanah Air yang mulai memudar tulisan dan warnanya, terselip di antara batu karang dan rumput laut. Dengan sekelebat dipungut Radith Giantiano.

Pemuda lajang berusia 30 tahun asal Kelurahan Alak, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu tampak lincah memainkan jari jemarinya di antara tumpukan rumput yang basah diterpa ombak.

Satu per satu sampah diambil dan dimasukkan ke dalam karung plastik warna putih berbalut lumpur berukuran 15 kilogram, yang ditentengnya dengan tangan kiri. Ada sampah plastik, gelas plastik bekas minuman mineral, kaleng bekas hingga keset rusak.

Sampah plastik yang diambil, menyisakan bekas menghitam pada rumput.

"Rumput dan organisme yang melekat ikut rusak dan mati akibat sampah ini. Makanya warna rumput berubah jadi hitam," ujar Radith, saat bersama Kompas.com memungut sampah, Jumat (1/12/2023).

Baca juga: Dukung Ekonomi Sirkular, Kemenkeu Resmikan Program Pengelolaan Sampah

Aktivitas pemuda kelahiran Kupang, 12 Februari 1993, itu sudah berlangsung sejak tahun 2019 lalu, saat usianya 26 tahun. Namun, lebih rutin pada tahun 2021 pasca kejadian Badai Seroja menerjang wilayah Kupang dan sekitarnya.

Badai Seroja yang melululantahkkan ribuan rumah dan pohon berukuran besar, termasuk terumbu karang di deretan Teluk Kupang, membuatnya sadar untuk lebih peduli terhadap kelestarian laut, sebagai sumber kehidupan bagi dia dan nelayan lainnya.

Setiap pagi sekitar pukul 07.00 WITA saat matahari belum sepenggalan, Radith yang bekerja sebagai nelayan, mulai beranjak dari rumahnya yang berjarak hanya selompatan dari bibir pantai.

Dia membersihan semua jenis sampah di sepanjang pantai yang juga bersebelahan dengan dermaga kapal. Durasi waktunya antara 45 sampai 60 menit, hingga keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya.

Melihat sampah mulai berkurang, Radith beristirahat sejenak di bawah batu karang seukuran rumah, sambil menyeka keringat di kening yang menghitam. Saat napasnya mulai normal, dia kembali ke rumah untuk mandi.

Pagi itu, Radith harus mengikuti sejumlah agenda. Satu di antaranya menghadiri rapat di Kantor Lurah Alak, membahas masalah sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Alak yang terbakar, termasuk juga sampah di laut.

Radith GiantianoKOMPAS.com/Sigiranus Marutho Bere Radith Giantiano
Bukan tanpa alasan Radith harus hadir. Meski masih muda, dia dipilih sebagai Ketua RT 25 Kelurahan Alak. Ia juga menjabat Sekretaris Jenderal Nelayan Bersatu Kota Kupang.

Kepedulian terhadap lingkungan sekitar laut dari sampah rupanya terdengar luas hingga ke luar NTT.

Sudah tak terhitung lagi berapa kali dia jadi pembicara di beberapa forum mahasiswa dan organisasi pemerhati lingkungan, lembaga swadaya masyarakat dan dinas, komunitas pecinta alam, universitas dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Dia juga pernah jadi pembicara tentang penyelamatan lingkungan dari sampah yang digelar mahasiswa Universitas Indonesia melalui zoom.

Cara bicaranya yang teratur dan terstruktur, membuatnya sempat dikira sarjana. Padahal, Radith tidak memiliki ijazah sekolah. Dia putus sekolah di kelas III Sekolah Dasar (SD) Inpres Tenau Kupang.

Untuk pengembangan diri, Radith bergabung dengan Underwater Kupang. Komunitas ini rutin merestorasi karang dan juga membersihkan sampah di laut.

Radith juga aktif di beberapa komunitas seperti Free Diving Kupang, Bukan Sekadar Pesiar, Taman Baca Anak Pinggiran Indonesia, Extention Rebellion, dan Taruna Peduli Alak

Termasuk, di komunitas pengawas pantai Relawan Kamla NTT, Timor Trip Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia NTT, serta Barisan Pemuda Adat Nusantara.

“Terus terang, saya ikut komunitas untuk pengembangan diri, karena saya tidak sekolah. Dari sini, saya mendapat teman, pengetahuan dan pengalaman baru, serta relasi, terutama tentang komunitas yang peduli alam,” kata Radith.

Awal Mula Peduli Sampah

Radith mengisahkan awal dirinya peduli pada sampah saat tak sengaja menyelam persis di bawah dermaga kapal nelayan.

Saat berada di dasar laut, Radith sempat tercengang lantaran banyaknya sampah yang menumpuk. Sebagian tersangkut di terumbu karang.

Dia bahkan menemukan ikan mati terjebak di sampah plastik. Terumbu karang menjadi rusak dan mati.

Semua sampah itu dipungutnya dan dibawa ke darat. Meski susah payah, sedikit demi sedikit sampah itu diambil.

Radith sadar, tidak mungkin sendiri membersihkan sampah di laut. Dia lantas meminta beberapa kerabat dan teman-temannya untuk membantu membersihkan sampah di laut.

Permintaan itu tidak serta merta diikuti. Namun, Radith tak patah arang. Dengan segala cara dilakukannya untuk meyakinkan keluarga dan rekan-rekannya, bahwa mata pencarian mereka di laut. Jika ekosistem laut rusak, dengan sendirinya populasi ikan akan berkurang.

Radith getol melakukan sosialisasi kepada 59 kepala keluarga (KK) di lingkungannya, untuk peduli lingkungan dan tidak buang sampah sembarangan.
KOMPAS.com/Sigiranus Marutho Bere Radith getol melakukan sosialisasi kepada 59 kepala keluarga (KK) di lingkungannya, untuk peduli lingkungan dan tidak buang sampah sembarangan.
Dia getol melakukan sosialisasi kepada 59 kepala keluarga (KK) di lingkungannya, untuk peduli lingkungan dan tidak buang sampah sembarangan.

Kerabat dan warga sekitar akhirnya sadar dan mulai ikut membersihkan sampah di dasar laut maupun di tepi pantai.

Untuk membuat gerakan lebih masif, Radith pun bergabung dalam komunitas Free Diving Kupang dan komunitas pengawas pantai Relawan Kamla NTT.

“Kalau biota laut tertutup sampah, mereka akan menjerit. Sehingga sudah jadi kewajiban kita harus peduli,”kata Radith.

"Akhirnya saya sadar, jika kita sebagai anak muda tidak buat satu langkah baik, berarti kita sebagai anak muda itu gagal," sambungnya.

Laut jadi muara pembuangan sampah

Laut jadi muara pembuangan sampah. Pasalnya, pada musim hujan, semua jenis sampah yang selama ini dibuang sembarangan dan menumpuk di kali kering, hanyut menuju laut.

Pesisir Alak kerap menampung sampah kiriman, saat arus laut bergerak ke barat Teluk Kupang. Air dari Kali Namosain dan Kali Tenau turut membawa sampah ke laut.

Saat sampah berada di laut, akan mengikuti arus ke gelombang. Ada yang ke tengah laut, ada pula yang ke tepi pantai.

"Mau tidak mau, suka tidak suka, kalau semua sampah ini terseret ke pesisir pantai, kita harus menguranginya dengan memilih atau memungutnya," imbuhnya.

Tak hanya itu, Radith juga menyentil pemerintah yang belum maksimal menyelesaikan masalah sampah di laut.

Padahal, sudah ada Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 yang mengatur tentang pengelolaan sampah.

Dia yakin, jika pemerintah dan masyarakat menjalankan perintah Undang-Undang tersebut, maka sampah tidak akan berserakan di mana-mana, baik itu di darat maupun di laut.

Dalam UU itu, sampah harus dikelola dari rumah tangga dengan cara dipisah.

Kemudian pemerintah menyiapkan fasilitas pendukung seperti tempat sampah dari rumah tangga sampai tempat pembuangan sementara, hingga tempat pembuangan akhir.

Beberapa jenis sampah seperti sampah bahan berbahaya dan beracun, plastik, makanan, sayur atau sampah basah, masing-masing harus dipisah.

Faktanya, di lapangan semuanya itu tidak ada. Sampah yang sudah dikumpulkan di tempat pembuangan sementara dengan cara dipilah, diangkut mobil lalu dibawa ke tempat pembuangan akhir dan dibuang saja begitu.

Alhasil tempat pembuangan akhir sampah di Alak, dalam setahun telah dua kali terbakar. Dampaknya pada kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitar.

"Per hari ini, pemerintah tidak serius menjalankan perintah UU ini. Yang salah siapa? Mau salahkan masyarakat karena menghasilkan banyak sampah menurut saya tidak juga," cetus Radith.

Mikroplastik di Perairan Kota Kupang

Peneliti Mikroplastik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT Horiana Yolanda Haki mengatakan, data sampah di Kota Kupang pada tahun 2021 mencapai 218,98 ton per hari.

Angka itu menurun pada tahun 2022 yakni 86 ton sampah per hari.

"Data itu kita diperoleh dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Kupang. Untuk tahun 2023 kami belum dapat datanya," ujar Horiana.

Walhi NTT juga pernah berkolaborasi dengan tim peneliti Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN), menemukan adanya mikroplastik dan timbulan sampah di perairan Kota Kupang.

"Kondisi ini menjadi bukti bahwa pengelolaan sampah di Kota Kupang masih amburadul," kata Horiana.

Tim ESN dan Walhi NTT menyimpulkan, ada lima faktor penyebab pencemaran mikroplastik dan banyaknya timbulan sampah plastik di Perairan Kupang.

Pertama, pola konsumerisme yang sengaja diciptakan oleh pelaku usaha untuk sekadar memenuhi kebutuhan penjualan hasil produksinya.

Kemudian, Pemerintah Kota Kupang mengabaikan pengelolaan sampah.

Dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 Pasal 15 secara jelas menegaskan, produsen wajib mengelola kemasan atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.

Menurut radish, Pemerintah harus tegakkan UU dan masyarakat siap melaksanakan dengan memilah sampah, mengurangi sampah dari rumah tangga.
KOMPAS.com/Sigiranus Marutho Bere Menurut radish, Pemerintah harus tegakkan UU dan masyarakat siap melaksanakan dengan memilah sampah, mengurangi sampah dari rumah tangga.
Selain itu, Pemerintah Kota Kupang juga memiliki regulasi untuk menangani sampah, seperti Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 terkait kewajiban pelaku usaha.

Pasal 12 secara tegas menyatakan pelaku usaha yang melakukan usaha atau program yang menghasilkan produk atau kemasan produk, wajib melaksanakan program pembatasan timbulan sampah sebagai bagian dari usaha atau programnya.

Selanjutnya, pemerintah tidak melakukan pemetaan pelaku-pelaku usaha yang produknya dijual di pasaran, sehingga produsen dan pelaku usaha yang menghasilkan sampah tidak termonitoring dan terus menghasilkan sampah plastik

Pemerintah juga tidak menyediakan sarana infrastruktur pengelolaan sampah seperti tempat sampah yang memadai dan mencukupi, tidak tersedianya pengangkutan sampah, tidak adanya tempat pengolahan sampah sementara di setiap kelurahan.

Melihat kondisi itu, tim peneliti Ekspedisi Sungai Nusantara dan Walhi NTT merekomendasikan pemerintah untuk mengimplementasi UU Nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah terutama dalam aspek pengurangan sampah plastik ke perairan hingga 30 persen pada tahun 2025.

Selanjutnya, Pemerintah Kota Kupang harus menyediakan sarana infrastruktur sampah pada tiap kelurahan

Pemerintah Kota Kupang membuat regulasi untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Upaya ini bisa dimulai dengan tidak menggunakan botol plastik dan makanan berbungkus plastik dalam setiap acara yang diadakan oleh Pemerintah Kota Kupang.

Pihaknya juga mendesak dan mempertegas para pelaku usaha untuk bertanggungjawab membersihkan sampah plastik sachet yang mengotori perairan Kota Kupang.

Hal ini karena sampah plastik dapat meningkatkan banyak risiko permasalahan kesehatan seperti risiko autorium, kanker, penyakit hormonal (diabetes mellitus hingga ketidaksuburan), gangguan perkembangan saraf bayi dan anak hingga kecacatan janin

Sementara itu, Dosen Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Lumban Nauli L. Toruan menambahkan, sampah sudah mencemari wilayah pesisir dan laut NTT.

Jenis sampah tersebut banyak disumbangkan dari aktivitas manusia seperti gabus, kaleng dan berbagai material plastik yang memberikan dampak buruk bagi ekosistem laut.

Pada Bulan Agustus 2020, dia meneliti enam pantai wisata yang dikelola oleh pemerintah di Laut Timor.

Enam pantai wisata itu berada di Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu dan Malaka.

"Hasil penelitian menunjukan seluruh pantai telah terpapar oleh sampah yang tidak dikelola. Sampah plastik mendominasi seluruh lokasi dengan komposisi jumlah antara 63 sampai 95 persen," ungkap Lumban, Minggu (3/12/2023).

Jumlah sampah di bagian pesisir selatan Pulau Timor, lebih sedikit dari bagian utara, karena adanya dinamika arus laut pada musim timur.

Dia menjelaskan, sampah ini bukan hanya terombang-ambing di permukaan air, namun juga terdapat di kolom perairan sampai dasar laut.

Sampah di laut NTT pun terus bertambah. Dugaan itu didasarkan pada jumlah penduduk yang terus bertambah akibat kelahiran dan migrasi.

Sampah ini tidak hanya memengaruhi estetika pesisir yang begitu indah, namun juga memberi dampak bagi keberadaan makhluk hidup dan kesehatan manusia.

"Sampah dapat merusak habitat perairan. Terumbu karang pun bisa dirusak oleh keberadaan sampah. Selain itu, mempengaruhi fotosintesis organisme di bawah kolom perairan," ungkap dia.

Selain itu, bahaya sampah lainnya bisa mengakibatkan kematian pada organisme laut seperti ikan, penyu dan mamalia laut. Hal itu jelas mengganggu jaring makanan ekosistem laut.

Jenis sampah tersebut banyak disumbangkan dari aktivitas manusia seperti gabus, kaleng dan berbagai material plastik yang memberikan dampak buruk bagi ekosistem laut.
KOMPAS.com/Sigiranus Marutho Bere Jenis sampah tersebut banyak disumbangkan dari aktivitas manusia seperti gabus, kaleng dan berbagai material plastik yang memberikan dampak buruk bagi ekosistem laut.
Karena itu, Lumban mengapresiasi langkah Radith yang secara sukarela menyadarkan masyarakat untuk membersihkan sampah di pesisir.

Hal senada juga disampaikan Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang Imam Fauzi yang menyebut Radith sebagai Mitra BKKPN Kupang, karena kerap dilibatkan dalam kegiatan yang digelar pihaknya.

"Radith ini juga agen konservasi," kata Imam.

Imam menjelaskan, Radith bermitra dengan BKKPN sejak tahun 2021. Waktu itu, ada proyek coremap. Pihaknya mencoba inisiasi pembentukan kelompok untuk mengelola wisata dolphin watching, yang diharapkan jadi cikal bakal untuk wisata whale watching di Taman Nasional Perairan Laut Sawu.

Secara spesifik, peran Radith sebagai agen yakni secara sukarela membantu pengelola kawasan konservasi untuk menyampaikan pesan-pesan konservasi, aksi peduli lingkungan, mengenalkan dan aturan main di kawasan konservasi ke semua pihak.

"Dia juga sering kita libatkan dalam kegiatan rehabilitasi ekosistem, monitoring pemanfaatan kawasan, monitoring paus dan sebagainya," kata Imam.

Imam berharap, keterlibatan Radith sebagai anak muda, bisa menginspirasi dan memberikan contoh untuk anak muda yang lain agar memiliki kepedulian dan aktif berpartisipasi dalam menjaga lingkungan khususnya penanganan sampah di laut.

"Mereka para generasi muda yang akan menikmati jika alam dan lingkungan terjaga dengan baik," pesan Imam.

Sebagai generasi muda yang telah menyadari dampak buruk sampah, Radith telah memulai langkah yang tak biasa.

Pernah dicap gila oleh warga sekitar, tak menyurutkan semangat Radith untuk terus memungut sampah dan mengkampanyekan tentang bahaya sampah.

Radith tetap memegang teguh prinsip, jika dirinya bersahabat dengan alam, tanpa disadari alam akan menjaganya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com