KOMPAS.com – Koalisi organisasi masyarakat sipil Indonesia menyerukan adanya komitmen politik dan mandat yang tegas meningkatkan aksi iklim yang berkeadilan dalam KTT iklim COP28 di Dubai Uni Emirat Arab (UEA).
COP28 sudah dimulai sejak Kamis (30/11/2023) dan sedianya berlangsung selama 12 hari hingga 12 Desember.
Koalisi masyarakat sipil Indonesia yang terdiri atas 19 organisasi ini menyebut, perubahan iklim sudah menjadi krisis global. Sekjen PBB bahkan menyampaikan dunia telah memasuki era pendidihan global.
Baca juga: COP28 Sambut Platform Investasi Solusi Iklim, Nilainya Rp 11,6 Triliun
Mereka menyebut, Indonesia sudah merasakan berbagai dampak krisis iklim seperti meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana banjir, topan, badai, gelombang tinggi, kekeringan, dan cuaca ekstrem lainnya.
“Termasuk memburuknya karhutla (kebakaran hutan dan lahan) yang telah melalap 1 juta hektare lahan di 2023, gagal panen, menyebarnya penyakit dan pandemi baru, kerusakan terumbu karang dan ekosistem laut, hingga hilangnya pulau-pulau dan daerah di Indonesia,” tulis koalisi ini dalam siaran persnya, Sabtu (2/12/2023).
Selain itu, krisis iklim juga dapat menghantam perekonomian negara dengan keras. Jika krisis iklim memburuk, produk domestik bruto (PDB) Indonesia bisa tergerus hingga 7 persen pada 2100.
Belum lagi, dampak terburuk krisis iklim justru ditanggung oleh kelompok masyarakat rentan yang berkontribusi paling kecil atas krisis tersebut.
Baca juga: COP28 Sepakati Dana Kerugian dan Kerusakan untuk Negara Miskin
Untuk menghindarkan bahaya krisis iklim, dunia membutuhkan aksi iklim segera. Kesempatan terakhir bagi kita untuk bertindak adalah di dekade ini.
“Aksi yang diambil sekarang akan menentukan nasib bumi, manusia, dan segala makhluk di dalamnya selama ribuan tahun ke depan,” tulisnya.
Selain mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), negara-negara juga harus meningkatkan kemampuan masyarakat untuk bertahan di tengah krisis iklim serta mengatasi kehilangan dan kerusakan akibat krisis iklim.
“Aksi iklim juga harus adil, artinya berupaya menghilangkan ketidakadilan ekologis, sosial-ekonomi, dan politik yang ada saat ini serta mencegah timbulnya ketidakadilan-ketidakadilan baru akibat aksi iklim itu sendiri,” papar koalisi.
Baca juga: Indonesia Kawal 4 Agenda Krusial dalam COP28
Akan tetapi, menurut koalisi, komitmen dan aksi global masih sangat jauh dari cukup untuk menghindarkan masyarakat dunia dari bahaya krisis iklim.
Global Stocktake pertama yang dikeluarkan UNFCCC pada 8 September 2023 lalu menemukan bahwa emisi global masih terus naik, komitmen pendanaan dari negara-negara maju belum terpenuhi, dan dukungan untuk adaptasi masih sangat jauh dari memadai.
Koalisi masyarakat sipil Indonesia menyerukan kepada Pemerintah Indonesia dan dunia untuk mengeluarkan komitmen politik dan mandat yang tegas untuk meningkatkan aksi iklim secara berkeadilan.
Pertama, asistensi bagi negara-negara dan komunitas yang paling terdampak serta memiliki kapasitas terendah dalam merespon krisis iklim.
Baca juga: Ikuti COP28, Indonesia Paparkan Kemajuan Aksi Iklim
Kedua, perkuat komitmen iklim atau NDC sesuai dengan hasil Global Stocktake.
Ketiga, adopsi target global untuk menghentikan secara bertahap semua bahan bakar fosil.
Keempat, adopsi target global untuk menghentikan kerusakan dan memulihkan seluruh ekosistem alam termasuk hutan, pesisir, mangrove, dan laut pada 2030.
Kelima, perubahan sistemik yang radikal dalam hal produksi pangan, energi, penggunaan hutan dan lahan, dan pembangunan.
Keenam, rekognisi peran dan hak masyarakat adat dan lokal serta solusi lokal perubahan iklim.
Ketujuh, mengakui gagalnya kepemimpinan negara-negara kaya dalam mencegah kerusakan bumi.
Baca juga: Mengenal COP28 Dubai: Urgensi dan Pesertanya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya