JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam kurun waktu 11 tahun terakhir (2012-2023) tercatat ada 2.112 kasus bunuh diri di Indonesia. Sebanyak 985 kasus (atau 46,63 persen) di antaranya dilakukan oleh remaja.
Sementara secara global, data dari WHO yang dirilis tahun 2019 mengungkapkan kasus bunuh diri juga menjadi penyebab kematian terbesar keempat pada kelompok usia remaja 15-29 tahun di seluruh dunia.
Survei lebih mendalam dilakukan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022 yang mengungkapkan hasil mengkhawatirkan.
Dari seluruh sampel survei yang diambil dalam 12 bulan terakhir, ada 1,4 persen remaja mengaku memiliki ide bunuh diri, 0,5 persen telah membuat rencana untuk bunuh diri, dan 0,2 persen telah melakukan percobaan bunuh diri.
Lantas apa penyebab tingginya kasus bunuh diri di kalangan remaja?
Masalah kesehatan mental adalah penyebab utamanya. Dari survei yang sama, terungkap satu dari 20 remaja atau 5,5 persen remaja usia 10-17 tahun didiagnosis memiliki gangguan mental, biasa disebut orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Baca juga: Waspada, Anemia pada Remaja Putri Bawa Pengaruh Jangka Panjang hingga Jadi Faktor Stunting
Sementara, sekitar sepertiga atau 34,9 persen memiliki setidaknya satu masalah kesehatan mental atau tergolong orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).
Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara Kemendikbud Ristek RI Ana Susanti memaparkan, faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab masalah kesehatan mental pada remaja, yaitu tekanan akademik, pergeseran sosial, pengaruh media sosial dan totalitas harapan yang tinggi dari orang tua atau keluarga.
"Selain itu, ada empat tanda dan gejala yang bisa dicermati pada remaja yang mengalami masalah gangguan kesehatan mental," ujar Ana dalam webinar berjudul “Literasi Kesehatan Mental untuk Pencegahan Kasus Bunuh Diri pada Remaja”, yang digelar Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB), Sabtu (16/12/23).
Antara lain perubahan mood secara drastis, perubahan pola tidur dan pola makan, menurunnya minat dan energi, serta perubahan perilaku secara drastis termasuk penarikan diri dan perilaku merusak.
Psikolog dan Dosen Prodi Psikologi dari FISIP Universitas Brawijaya Ulifa Rahma menambahkan, hasil survei yang dilakukan bersama tim dengan melibatkan 202 remaja usia 12-20 tahun mengungkapkan, efikasi diri (kepercayaan terhadap kemampuan diri), penerimaan lingkungan sosial dan depresi menjadi prediktor (variabel yang memengaruhi) munculnya ide bunuh diri pada remaja berkontribusi sebesar 52 persen.
Sebagai salah satu prediktor munculnya ide untuk bunuh diri, depresi yang dalam ilmu psikologi disebut sebagai mayor depressive disoder (MDD) memiliki beberapa karakteristik. Antara lain timbulnya suasana perasaan yang rendah pada hampir seluruh situasi dan terjadi setidaknya selama dua minggu.
Baca juga: Remaja Putri Perlu Waspadai Anemia untuk Cegah Anak Stunting
Gejala tersebut juga disertai dengan rendahnya harga diri, hilangnya minat pada aktivitas yang biasanya disukai, energi yang rendah dan rasa nyeri tanpa penyebab yang jelas.
Lebih jauh Ulifa mengungkapkan beberapa respon yang bisa muncul dari remaja yang mendapat serangan gangguan mental.
Di antaranya menyakiti diri sendiri (self harm) seperti menyayat kulit, membakar bagian tubuh dan membenturkan bagian tubuh, terpikir untuk bunuh diri (suicide ideation), kecanduan game dan pornografi, kecanduan alkohol dan lain-lain.
"Self harm memang belum masuk dalam kategori percobaan bunuh diri, namun perilaku tersebut bisa berkembang menjadi bunuh diri," kata Ulfa.
Beberapa “warning signs” kecenderungan bunuh diri pada remaja yang harus segera direspon dengan tepat adalah saat berbicara, selalu mengatakan bahwa ia adalah beban dari bagi orang lain, menarik diri dari keluarga dan teman, menunjukkan kemarahan atau bicara mengenai keinginan untuk membalas dendam.
Juga perasaan cemas atau agitasi, dan peningkatan frekuensi penggunaan alkohol bagi yang sudah menjadi pecandu.
Bagi pelajar, penurunan prestasi akademik dan berkurangnya minat terhadap sekolah dan interaksi dengan guru dan teman, juga harus diwaspadai.
Beberapa perencana bunuh diri bahkan sudah mempersiapkan surat wasiat dan memberikan barang-barang favoritnya.
Baca juga: Konsumsi Tablet Tambah Darah Sejak Remaja, Cegah Bayi Lahir Stunting Kemudian Hari
"Kalau tidak ia menulis atau menggambar tentang kematian atau bunuh diri. Terutama bagi mereka yang sering kesulitan mengungkapkan emosi yang intens secara verbal," imbuh Ulfa.
Anak yang pernah melakukan upaya bunuh diri juga lebih berisiko mengulangi upayanya. Juga anak yang mengalami kehilangan (termasuk kesedihan dan hilangnya hubungan karena perceraian atau perselisihan keluarga), penolakan, kekerasan atau menyaksikan kekerasan.
Ulifa mengingatkan, sinyal-sinyal tersebut harus direspons secara serius dan matang. Jangan mengabaikan ancaman dari pelaku dengan menganggap hal tersebut hanya merupakan upaya untuk menarik perhatian.
"Cobalah ajukan pertanyaan spesifik terkait apa yang disampaikan dan berikan empati saat pelaku mengalami krisis emosional. Serta berikan dukungan secara tepat agar anak dapat mengatasi perasaan dan pemicunya. Jika masih merasa kurang yakin, jangan menunggu lagi untuk merujuk kepada profesional (psikolog/psikiater)," paparnya.
Ia juga menambahkan pentingnya meningkatkan kesadaran literasi kesehatan mental baik kepada remaja, guru dan orang tua sebagai upaya preventif.
Hal ini bertujuan agar individu mampu memiliki pengetahuan, keyakinan dan sikap untuk melakukan identifikasi faktor risiko/penyebab, melakukan manajemen dan pencegahan masalah kesehatan mental.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya