Terlebih alih fungsi yang terjadi pada wilayah Malang Raya berangkat dari tidak dijalannya aturan tata ruang yang ada, serta kebijakan lingkungan yang menunjang penegakkan pengaturan dan pengelolaan tata ruang.
Pada konteks ini, pemerintah di wilayah Malang Raya belum memiliki perspektif yang berkelanjutan dalam pengaturan tata ruang, yang nanti turunannya akan menyasar pada persoalan ekonomi, pengaturan kawasan lindung sampai dalam hal ini konteks sosialnya.
Langkah pemerintah di tiga kabupaten/kota pada wilayah Malang Raya, belum mampu menjawab problem krisis iklim berupa bencana hidrometeorologi.
Kebijakan yang diambil masih sangat berorientasi fisik, seperti betonisme. Sebagai contoh kala Pemerintah Kota Malang dan Kota Batu dalam menjawab banjir, kebijakan mereka masih bagaimana membangun bangunan fisik, normalisasi dan betonisasi saluran air.
Pada 2022 ke 2023, memang cenderung sedikit ke hijau, dengan adanya perspektif penataan ekosistem, seperti rehabilitasi kawasan hutan dan kawasan saluran air. Namun itu belum cukup, sebab masih minim kebijakan yang mengarah ke sana, tidak terbuka, tidak partisipatif.
Perspektif hijau yang dimaksud masih sebatas seremonial, yakni menanam pohon tanpa punya kebijakan dan road map yang jelas.
Persoalan penting yang tengah terjadi di wilayah Malang Raya terkait problem bencana, serta tidak adanya kebijakan berperspektif ekologis adalah tidak adanya political will.
Dalam hal ini kesadaran politik lingkungan pada stakeholder, baik level pemerintah kabupaten/kota dan legislatif daerah di wilayah Malang Raya masih rendah.
Rendahnya keberpihakan politik juga dapat dilihat dalam penegakkan aturan tata ruang dan lingkungan. Mereka tidak memiliki imajinasi penataan ruang yang sejalan dengan kondisi terkini dari kawasan dikelola.
Hal ini tampak dari revisi peraturan tata ruang di Malang Raya yang semua langgamnya sama, yakni tata ruang mengikuti aktivitas ekonomi, bukan aktivitas ekonomi yang mengikuti tata ruang sebagaimana prinsip tata ruang yang berkelanjutan.
Melihat kondisi tersebut, maka cukup mustahil penanggulangan krisis iklim dalam hal ini bencana dapat dilakukan. Yang terjadi sebaliknya, bertahan dan terus bertahan menghadapi bencana.
Korban terus bertambah, kerugian semakin besar, pelan-pelan ekonomi akan terdampak.
Ke depan warga Malang Raya memang perlu dengan jeli memilih, kalau perlu mendorong calon pemimpin yang memiliki keberpihakan politik.
Seorang pemimpin yang mampu mendorong kebijakan pemulihan, bukan betonisasi atau mengupayakan penguatan dan perlindungan daya tampung serta daya dukung kawasan dalam bingkai nature based solution atau solusi alamiah dalam menanggulangi bencana seperti pemulihan kawasan dan perluasan ruang terbuka hijau.
Karena yang dibutuhkan sekarang bukan pemimpin yang sering menormalisasi bencana terutama akibat krisi iklim sebagai takdir atau menyalahkan alam dan penciptanya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya