Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korea Selatan Haramkan Penjualan dan Produksi Daging Anjing

Kompas.com, 11 Januari 2024, 21:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Parlemen Korea Selatan telah mengeluarkan larangan penting terhadap produksi dan penjualan daging anjing.

Meski hanya sebagian kecil orang yang masih mengonsumsi daging anjing di Korea Selatan, praktik kuno ini telah menjadi sasaran kritik tajam dari media asing dan pembela hak-hak hewan.

Dalam beberapa tahun terakhir, generasi muda di Negeri Ginseng ikut menyerukan aksi larangan, dilansir dari Euronews, Kamis (11/1/2024).

Baca juga: Bioenergi Beririsan dengan Pangan dan Lahan, Perlu Tenggat Waktu Transisi Energi

Pada hari Selasa (9/1/2024) lalu, parlemen merespon seruan mereka melalui sebuah regulasi baru yang akan menjadikan penyembelihan, pembiakan, dan penjualan daging anjing untuk konsumsi manusia menjadi ilegal mulai tahun 2027.

Pelakunya dapat dihukum dua hingga tiga tahun penjara. Namun, tidak ada hukuman apa pun untuk memakan daging anjing.

Seberapa umumkah daging anjing di Korea Selatan?

Konsumsi daging anjing tidak secara eksplisit dilarang atau dilegalkan di Korea Selatan. Survei terbaru menunjukkan lebih dari separuh warga Korea Selatan menginginkan daging anjing dilarang dan mayoritas tidak lagi memakannya.

Namun, satu dari tiga warga Korea Selatan masih menentang larangan tersebut, meskipun mereka tidak mengonsumsinya.

Tidak ada data resmi yang dapat diandalkan mengenai ukuran pasti industri daging anjing di Korea Selatan. Adapun para aktivis dan peternak mengatakan ratusan ribu anjing disembelih untuk diambil dagingnya setiap tahun.

Baca juga: Perempuan, Pengetahuan Adat, dan Ketahanan Pangan

Pada tahun 2022, lembaga penyiaran nasional Korea Selatan KBS melaporkan, lebih dari setengah juta anjing dipelihara untuk dimakan di seluruh negeri dan 1.600 restoran menjual daging anjing.

Pada Februari 2022, terdapat 1.156 peternakan yang memelihara anjing untuk diambil dagingnya dan 34 rumah potong hewan, menurut Kementerian Pertanian, Pangan, dan Pedesaan Korea Selatan.

Masa tenggang selama tiga tahun akan diberikan agar industri ini dapat melakukan transisi dan penutupan, dengan tindakan keras akan dimulai pada tahun 2027.

Larangan disahkan dengan suara bulat

Majelis Nasional Korea Selatan meloloskan RUU tersebut dengan suara bulat, yaitu 208-0.

Larangan ini akan menjadi undang-undang setelah disahkan oleh Dewan Kabinet dan ditandatangani oleh Presiden Yoon Suk Yeol, dan dianggap sebagai formalitas karena pemerintahnya mendukung larangan tersebut.

“Undang-undang ini bertujuan untuk berkontribusi mewujudkan nilai-nilai hak-hak hewan, yang mengupayakan penghormatan terhadap kehidupan dan hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dan hewan,” kata undang-undang tersebut.

RUU tersebut juga menawarkan bantuan kepada peternak anjing dan pihak lain di industri ini untuk menutup bisnis mereka dan beralih ke bisnis alternatif.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
LSM/Figur
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
Swasta
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Pemerintah
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
Pemerintah
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau