Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/01/2024, 21:54 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Persoalan sampah telah menjadi isu besar di Indonesia. Terlebih plastik yang merupakan perkara serius dan memengaruhi lingkungan, kesehatan masyarakat, hingga keberlanjutan ekosistem.

Banyak aktivis lingkungan yang menilai bahwa penggunaan kemasan plastik, kontraproduktif dengan semangat pengurangan sampah plastik secara Global maupun Nasional. Namun demikian, promosi penggunaan kemasan tersebut justru malah semakin masif dilakukan.

"Kampanye masif yang mendorong penggunaan kemasan plastik ini kontradiktif dengan semangat pengurangan sampah plastik," kata Juru Kampanye Perkotaan Walhi Abdul Ghofar, Senin (21/1/2024).

Dia menegaskan, seharusnya penggunaan kemasan plastik tidak dipromosikan secara masif dan intensif. Hal tersebut justru berlawanan dengan target mengurangi sebesar-besarnya penggunaan plastik.

Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SIPSN-KLHK) 2022 mendapati bahwa jumlah timbunan sampah Nasional mencapai angka 21,1 juta ton. Angka itu berasal dari 202 kabupaten/kota.

Baca juga: Berapa Banyak Plastik yang Kita Telan saat Minum Air Kemasan?

Dari total produksi sampah Nasional tersebut, sebesar 13,9 juta ton atau 65.71 persen dapat terkelola. Sedangkan sisanya sebanyak 7,2 juta ton atau 34,29 persen belum terkelola dengan baik.

Dalam data lainnya, ada 69 juta ton sampah yang dihasilkan masyarakat Indonesia sepanjang 2022. Rinciannya, sebesar 18,2 persen atau 12,5 juta ton adalah sampah plastik. Tidak sedikit dari jutaan ton sampah plastik itu berakhir begitu saja di laut.

Jumlah sampah plastik setiap tahun juga terus meningkat. Salah satu penyumbang naiknya jumlah sampah plastik adalah perilaku masyarakat Indonesia yang kerap menggunakan plastik sekali pakai.

Plastik-plastik sekali pakai tersebut kemudian menjadi sampah dan dapat menimbulkan efek buruk bagi lingkungan bila masuk ke perairan atau tanah.

Penggunaan kemasan plastik termasuk galon memang telah menjadi masalah besar yang harus segera dipecahkan.

Ghofar mengatakan, angka sampah plastik yang bisa dikumpulkan secara Nasional belum menyentuh 15 persen.

Sedangkan, sampah plastik yang mampu didaur ulang baru mencapai 10 persen. Sementara, 50 persen sisanya tidak terkelola dan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Baca juga: 3R, Cara Efektif Pangkas Penggunaan Plastik di Dapur

Melihat kondisi itu, penggunaan kemasan plastik yang semakin masif justru akan menambah persoalan baru. Semakin banyak produsen memproduksi galon sekali pakai, akan kian menggunung pula sampah plastik yang terkumpul.

KLHK juga menilai bahwa penggunaan kemasan plastik sekali pakai merupakan kesalahan tafsir produsen terkait Peraturan menteri (Permen) LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah. Khususnya yang terkait dengan ketentuan ukuran kemasan yang diwajibkan minimal satu liter.

Kasubdit Tata Laksana Produsen KLHK Ujang Solihin Sidik mengatakan beleid dibuat bukan dalam arti produsen memproduksi kemasan plastik sekali pakai, sebaliknya untuk menghindari kemasan yang terlalu kecil sehingga sulit untuk dikumpulkan.

Juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi menegaskan, kemasan plastik sekali pakai jelas akan menjadi masalah baru.

Penggunaannya juga tidak sejalan dengan target pemerintah mengurangi sampah di laut sebesar 70 persen pada 2025.

Baca juga: Mengenal 7 Jenis Plastik: Karakteristik dan Contohnya

Dia melanjutkan, produksi plastik sekali pakai yang begitu masif tanpa adanya tanggung jawab perusahaan justru akan mempersulit capaian dari target tersebut.

Seharusnya industri mulai berbenah bagaimana mereka dapat menyusun rencana strategis dalam mengurangi timbulan sampah mereka.

"Bukan malah meningkatkan produksi kemasan produk sekali pakai. Selama dalam kemasan sekali pakai, masalah kita tentu akan semakin besar," ucap Atha.

Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menambahkan, perusahaan seharusnya menerjemahkan permen 75 dengan lebih transformatif.

Artinya, produsen harus berhenti memproduksi plastik sekali pakai dan beralih ke kemasan yang bisa dipakai berulang.

"Hal itu untuk menekan kebocoran plastik ke lingkungan kita, yaitu dengan cara harus menekan pertumbuhan atau konsumtif plastik sekali pakai," kata Peneliti ICEL Fajri Fadillah.

Sementara itu, dalam audit “Potret Sampah Enam Kota: Medan, Samarinda, Makassar, Denpasar, Surabaya, dan DKI Jakarta” hasil kerja sama Net Zero Waste Management Consortium (NZWMC) dan Litbang Kompas, teridentifikasi  1.930.495 potongan sampah dari enam kota yang terdiri dari 635 jenis sampah.

Baca juga: 10 Negara dengan Pengelolaan Sampah Terbaik

Adapun jenis sampah yang menjadi “juara” alias mendominasi adalah serpihan sampah plastik berbagai merek. Kemudian, plastik kresek menempati posisi kedua.

Berikutnya, bungkus mi instan menempati posisi ketiga, cup air mineral menempati posisi keempat, dan botol minuman berkarbonasi menempati posisi kelima.

“Sampah saset cukup banyak timbulannya, termasuk di kawasan yang sudah settle peruntukannya (bukan tempat sampah). Fakta di lapangan menunjukkan tidak ada upaya clean-up, baik oleh masyarakat, pemerintah, maupun produsen,” kata Peneliti Litbang Kompas Nila Kirana, dikutip dari Kompas.com.

Timbulan sampah saset didominasi oleh produk sampo, minuman instan bubuk, deterjen, serta penyedap rasa. Sampah bungkus plastik pun bertebaran serta ditemukan di seluruh titik sampling dalam investigasi audit sampah tersebut.

“Kemasan plastik bungkus tisu, minyak goreng, tube pasta gigi, dan skincare juga masih menjadi material timbulan sampah di TPA serta lokasi lingkungan lainnya,” ujar Nila.

Optimalisasi penerapan regulasi

Terkait hal itu, Ketua Harian NZWMC Amalia S Bendang menyebutkan, jenis sampah plastik, bekas kemasan, ataupun serpihannya, menjadi sampah yang paling banyak ditemukan.

Hasil riset tersebut juga menunjukkan bahwa manajemen sampah di daerah belum optimal. Contohnya, pengangkutan sampah masih menggunakan kendaraan dengan bak terbuka dan dioperasikan pada siang hari sehingga berdampak pada kemacetan di jalan.

Baca juga: Mengenal 7 Jenis Plastik: Karakteristik dan Contohnya

“Dari hasil riset itu disimpulkan, antara lain, diperlukan perbaikan infrastruktur persampahan di daerah oleh pemerintah daerah. Selain itu, penerapan regulasi tentang sampah dengan optimal. Hal ini termasuk pemberlakuan mekanisme sanksi dan penghargaan, serta diikuti pendidikan pengelolaan dan pengurangan sampah bagi publik,” papar Amalia.

Di sisi lain, lanjut Amalia, keberadaan sampah kemasan di TPA ataupun titik timbulan sampah di berbagai kota mengindikasikan belum dijalankannya mandat pengurangan sampah secara efektif.

Adapun mandat tersebut merupakan komitmen produsen serta pebisnis ritel melalui extended producer responsibility (EPR) dan ekonomi sirkular.

“Diperlukan langkah tegas dengan law enforcement untuk men–trigger percepatan pengurangan sampah, serta mewujudkan keadilan (fairness) sehingga menjadi wujud penghargaan bagi pihak yang telah menjalankan pengelolaan dan pemilahan sampah secara optimal,” jelasnya.

Dorongan up-sizing kemasan

Sebagai informasi, KLHK telah mengeluarkan kebijakan Peraturan Menteri (Permen) LHK No 75 Tahun 2019 mengenai Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.

Target pengurangan sampah oleh produsen, yaitu sebesar 30 persen pada akhir 2029. Berdasarkan fakta ketidak-taatan para produsen dengan ditemukannya sampah kemasan mereka di TPS, TPA, dan lingkungan hidup, maka KLHK harus melakukan serangkaian aksi untuk review dan konsolidasi guna penerapan sanksi pelanggaran, baik administratif maupun pidana (pidana pengelolaan sampah dan atau pidana korporasi).

Baca juga: Berapa Banyak Plastik yang Kita Telan saat Minum Air Kemasan?

Adapun sanksi atas ketidaktaatan produsen dalam melaksanakan program pengurangan sampah harus sesuai dengan ketentuan Permen LHK No 75/2019, PP No 81/2012, serta UU No 18/2008.

Pada dasarnya, desain dan ukuran kemasan tidak diatur terkait perizinannya. Kecuali, melekat pada izin produksi yang harus memperoleh izin dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Namun demikian, redesign kemasan untuk tujuan up-sizing dalam rangka menurunkan potensi timbulan sampah kemasan memiliki kekuatan memaksa sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 20 ayat 3 UU Nomor 18/2008, “menggunakan bahan produksi yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin”, dengan konsekuensi diberlakukannya sanksi administrasi (Pasal 32), pidana pengelolaan sampah (Pasal 40) maupun pidana korporasi (Pasal 42), sesuai level ketidaktaatannya.

 

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com