Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pajak Karbon Bisa Berakhir "Gimmick" Semata jika Hanya Rp 30 Per Kilogram

Kompas.com - 24/01/2024, 13:00 WIB
Masya Famely Ruhulessin,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Penerapan pajak karbon merupakan salah satu isu yang disinggung dalam Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres), Minggu (21/1/2023).

Dalam acara debat tersebut, Cawapres Nomor Urut 2 Gibran Rakabuming mengatakan pentingnya pemberlakuan kebijakan pajak karbon ketika menjawab pertanyaan dari Cawapres Nomor Urut 3 Mahfud MD tentang ekonomi hijau yang diterapkan oleh pemerintah.

Tak hanya Gibran, Cawapres Nomor Urut 1 Muhaimin Iskandar juga menyatakan penerapan pajak karbon bisa menjadi salah satu instrumen untuk menyiapkan transisi penggunaan energi.

Baca juga: Gibran Dinilai Tak Paham Soal Reforma Agraria

Menanggapi hal ini, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Fanny Tri Jambore Christanto berharap gagasan mengenai penerapan pajak karbon tidak berakhir sebagai gimmick semata.

Pajak karbon tadi sudah disampaikan ini berakhir cuma menjadi gimmick semata. Seharusnya ini sudah beroperasi dari 2022 menurut Undang-Undang. Tapi sampai sekarang tidak diterapkan bahkan diundur sampai 2025,” ujarnya di Kantor Eksekutif Nasional Walhi, Jakarta, Selasa (23/1/2024).

Baca juga: Muhaimin Sebut Program Food Estate Picu Konflik Agraria di Indonesia

Fanny juga berharap bila nanti diberlakukan, siapa pun yang menjadi pemimpin negara kelak harus mempertimbangkan besarnya pajak karbon.

Sebagai informasi, berdasarkan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Perpajakan disebutkan rencana tarif pajak karbon di Indonesia adalah Rp 30 per kilogram karbon dioksida.

“Kalau kemudian diterapkan dengan nilai pajak yang terlalu kecil hanya Rp 30 per kilogram, enggak akan efektif,” papar Fanny.

Menurutnya, pajak karbon diadakan dengan tujuan untuk menghalangi emitter untuk terus mengeluarkan karbon. 

Bahkan besaran pajak karbon sangat kecil bila dibandingkan oleh besar pajak yang diterapkan di Singapura tahun ini.

Tercatat, pajak karbon disana mencapai 25 Dolar Singapura per ton atau setara Rp 280.000 per ton.

“Semakin besar gap maka akan semakin memudahkan emitter untuk mengakal eh urusan karbonnya,” papar Fannya.

Ia menambahkan sustainability report yang diusulkan oleh Gibran sebagai salah satu cara untuk pengelolaan lingkungan sebenarnya merupakan hal normatif yang harus dilakukan oleh perusahaan.

“Sebetulnya itu laporan sepihak saja dari perusahaan. Jadi perusahaan membikin laporannya sendiri soal sustainability dan kemudian dilaporkan. Jadi nggak akan efektif dipakai untuk instrumen tata kelola lingkungan,” tandasnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau