KOMPAS.com - Kinerja aksi iklim Indonesia mendapat skor jeblok oleh dua konsorsium pemantau global yaitu Climate Change Performance Index (CCPI) dan Climate Action Tracker.
Dalam CCPI terbaru pada 2024, Indonesia menempati peringkat 36 dari 67 negara yang dinilai aksi iklimnya.
Ranking yang diperoleh Indonesia tersebut melorot 10 peringkat dibandingkan penilaian tahun sebelumnya, di mana Indonesia menempati posisi 26.
Baca juga: Mencari Gagasan Memperkuat Ketahanan Pangan di Tengah Krisis Iklim
CCPI menilai empat aspek dalam penilaian aksi iklim setiap negara yaitu emisi gas rumah kaca (GRK), energi terbarukan, konsumsi energi, dan kebijakan iklim.
CCPI menyebutkan, kebijakan iklim Indonesia yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) masih tidak selaras dengan Perjanjain Paris dan hanya didasarkan pada penghitungan business-as-usual.
Pembaruan NDC yang dilakukan Indonesia menurut CCPI hanya bersifat sementara. Target untuk mencapai netralitas karbon atau net zero emission dalam NDC memerlukan kerangka peraturan yang lebih kuat.
Sedangkan menurut Climate Action Tracker, Indonesia mendapat nilai critically insufficient alias sama sekali tidak memadai dalam aksi iklimnya.
Baca juga: Debat Hanya Tontonkan Gimmick, Cawapres Tak Paham Krisis Iklim
Nilai critically insufficient berarti aksi iklim Indonesia dinilai sama sekali tidak konsisten dalam mencegah suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius.
Jika semua negara mengikuti pendekatan Indonesia, suhu Bumi akan naik 4 derajat celsius.
Berdasarkan kebijakan iklim yang diterapkan saat ini, Indonesia diproyeksikan akan melepaskan 300 juta ton karbon dioksida ekuivalen pada 2030.
Hal tersebut disebabkan peningkatan besar emisi pada 2022 dan penghitungan emisi dari rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara off-grid di Indonesia.
Indonesia dinilai dapat menerapkan kebijakan tambahan dengan kemampuan sendiri, namun juga memerlukan dukungan internasional untuk menerapkan kebijakan dekarbonisasi penuh.
Baca juga: Krisis Iklim Picu Kepunahan Kera Besar Lebih dari 200.000 Tahun Lalu
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, Indonesia sebetulnya adalah salah satu negara yang responsif terhadap aksi perubahan iklim.
Selain meratifikasi Perjanjian Paris, Indonesia juga telah dua kali melakukan pembaruan NDC.
Akan tetapi, jika melihat penilaian oleh dua konsorsium pemantau tersebut, janji-janji saja tidak cukup untuk melakukan aksi iklim.
"Walaupun menaikkan target penurunan emisi, tapi laporan menunjukkan Indonesia masih belum selaras untuk mencapai target temperatur dalam Paris Agreement," kata Fabby dalam peluncuran laporan Climate Action Tracker Assessment Indonesia and Climate Transparency Implementation Check, Selasa (30/1/2024), yang dipantau secara daring.
Kasubdit Pemantauan Pelaksanaan Mitigasi Direktorat Mitigasi Perubahan Iklim-DJPPI Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) Franky Zamzani mengatakan Indonesia menaikkan target dalam NDC.
Baca juga: Waspadai Misinformasi Perubahan Iklim di YouTube, Pembuatnya Punya Strategi Baru
Dalam Enhanced NDC pada 2022, Indonesia menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Franky menyebutkan, emisi Indonesia selalu berada di bawah target batas emisi yang ditetapkan.
Sebagai contoh pada 2022, Franky menyebutkan adanya pengurangan emisi GRK sebesar 884 juta ton karbon dioksida ekuivalen atau 42 persen dari proyeksi business-as-usual.
"Apabila diteruskan pada 2030 maka saya optimistis target tercapai, apalagi kalau targetnya ditambah," kata Franky.
Baca juga: Perubahan Iklim dan AI Jadi Ancaman Pembangunan Global
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya