Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anthony Marwan Dermawan
Peneliti

Anthony adalah spesialis kebijakan di Yayasan Pijar. Ia memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam mengadvokasi inovasi perkotaan, kota pintar, dan inovasi teknologi di Indonesia. Sepanjang karirnya, ia telah bekerja sama dengan para pemangku kepentingan dari Pemerintah, Lembaga Pembangunan, Perusahaan Rintisan, dan masyarakat. Kecintaannya pada pengembangan sosial, lingkungan dan digital mendorong latar belakang karirnya.

Mencari Gagasan Memperkuat Ketahanan Pangan di Tengah Krisis Iklim

Kompas.com - 24/01/2024, 15:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMILIHAN presiden dan wakil presiden sudah memasuki debat ke-4 pada 21 Januari lalu. Pada momen tersebut, para calon wakil presiden (cawapres) membahas tema terkait isu lingkungan hidup, pangan, energi, dan sumber daya alam.

Tema tersebut erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari, khususnya untuk urusan pangan.

Berbagai retorika dan perdebatan memang mewarnai debat ke-4 tersebut. Ada beberapa konsep menarik yang coba dibawa oleh para calon seperti "Taubat Ekologis" yang pernah disampaikan Paus Fransiskus lewat surat 'Laudato Si' yang terbit pada 2015. Atau kata hilirisasi dan digitalisasi yang menjadi populer akhir-akhir ini.

Namun sayangnya masih banyak pertanyaan yang sejatinya belum terjawab hingga saat ini. Gagasan yang disampaikan jauh dari yang diharapkan kebanyakan orang, yakni mengupas dan mengkritisi program yang dijanjikan masing-masing pasangan calon.

Padahal panggung tersebut menjadi peluang bagi para calon untuk dapat memaparkan lebih jauh program-program yang akan dibawa. Pada kenyataannya gagasan yang dibawa hanya menyentuh tataran retorika dan gimmick semata.

Dalam debat, para calon wakil presiden telah menyampaikan berbagai gagasan untuk memperkuat ketahanan pangan, seperti subsidi pupuk, kepastian hukum bagi petani, perlindungan petani, dan digitalisasi sektor pertanian.

Namun, masih ada kekurangan dalam menjawab tantangan krisis iklim, terutama gagasan ekstensifikasi lahan pertanian yang dapat mengancam ekosistem.

Solusi normatif

Krisis iklim menyebabkan perubahan iklim yang merugikan sektor pertanian di Indonesia, termasuk penurunan produktivitas lahan pertanian.

Faktor seperti perubahan pola curah hujan, kenaikan suhu udara, dan intensifikasi hama dan penyakit telah memberikan dampak negatif yang signifikan.

Produktifitas lahan pertanian memang cenderung menurun akibat El Nino tahun lalu sehingga diprediksi akan terjadi defisit beras sebanyak 2 juta ton awal tahun ini (BAPANAS, 2024).

Kondisi Ini menyebabkan pemerintah harus melakukan impor beras guna menghindari inflasi yang dapat terjadi.

Catatan ini harusnya mendapat atensi khusus dan dibahas secara mendalam. Ketidakseimbangan alam yang terjadi akan memperburuk keadaan yang sudah terjadi.

Penekanan terhadap ekstensifikasi lahan pertanian perlu dijelaskan lebih jauh. Konsep ekstensifikasi berarti akan membukan lahan baru yang kemudian dikonversi menjadi lahan produksi bahan pangan.

Salah satu program ekstensifikasi yang banyak dikritisi adalah food estate di Kalimantan Tengah. Produktifitas food estate di lahan seluas 60,000 ha sebagai signature program pengembangan lumbung pangan Indonesia tentu patut dipertanyakan di tengah ancaman El Nino.

Pentingnya mengatasi ketidakseimbangan alam dan mencari solusi yang mendalam harus ditekankan.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau