KOMPAS.com - Korporasi yang bergerak di sektor sumber daya alam (SDA) masih bisa menyembunyikan pemilik manfaat akhir meski menjalankan kewajiban pelaporan.
Pemerintah sebenarnya sudah memiliki peraturan untuk mendorong keterbukaan informasi penerima manfaat dari korporasi melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018.
Akan tetapi, Greenpeace Indonesia menilai, keberadaan perpres tersebut tak cukup kuat memastikan transparansi dari korporasi.
Baca juga: Masyarakat Sipil Dorong Kejagung Usut Grup Korporasi Sawit Dalam Korupsi Ekspor CPO
Hasil studi Greenpeace Indonesia dalam Praktik Pengungkapan Pemilik Manfaat Korporasi Bisnis Kelapa Sawit di Indonesia menemukan, korporasi masih dapat menyembunyikan pemilik manfaat akhir mereka kendati menjalankan kewajiban pelaporan tentang penerima manfaat.
Dilansir dari siaran pers Greenpeace Indonesia, mengetahui penerima manfaat korporasi adalah hal yang penting.
Pasalnya, pengetahuan tersebut bukan hanya demi keterbukaan informasi, melainkan juga untuk meminta pertanggungjawaban manakala terjadi pelanggaran atau kerusakan lingkungan.
Beberapa perusahaan di bawah tiga grup usaha yang menjadi contoh kasus dalam laporan ini memiliki sejarah kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak-hak masyarakat.
Baca juga: Manggala Agni Ajak Korporasi Tanggulangi Karhutla
"Keterbukaan informasi tentang penerima manfaat korporasi tersebut makin krusial jika menyangkut politically exposed person (PEP), sebab bisa jadi bersinggungan dengan konflik kepentingan," tulis Greenpeace Indonesia dalam rilisnya.
Dalam kasus kriminalisasi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, misalnya, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mulanya membantah terlibat dalam tambang emas di Papua lewat PT Tobacom Del Mandiri.
Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa Luhut adalah penerima manfaat dari PT Tobacom Del Mandiri, lewat perusahaan yang bernama PT Toba Bara Sejahtera.
PT Toba Bara, yang 99 persen sahamnya dimiliki Luhut, adalah penerima manfaat dari PT Tobacom Del Mandiri.
Luasnya cakupan definisi penerima manfaat korporasi membuat korporasi leluasa untuk tidak melaporkan seluruh pemilik manfaat atau hanya melaporkan yang memenuhi salah satu kriteria yang paling mudah.
Baca juga: 3 Korporasi Jadi Tersangka Kasus Korupsi Minyak Goreng, Momentum Pemulihan Kerugian Negara
Praktik pinjam nama atau nominee agreement juga ditengarai sering digunakan untuk mengelabui norma pelaporan pemilik manfaat.
Di sisi lain, belum ada kewajiban bagi pemerintah untuk melakukan uji akurasi dari sumber informasi yang relevan.
Greenpeace Indonesia menilai, hal tersebut turut menjadi kelemahan mekanisme pelaporan penerima manfaat yang ada sekarang.
Oleh karena itu, Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah memperkuat kebijakan deklarasi penerima manfaat yang berlaku saat ini.
Misalnya dengan membuat aturan pelaksana yang secara teknis dapat memverifikasi nama-nama yang diajukan sebagai penerima manfaat, hingga menjalin kerja sama antarkementerian atau lembaga dan masyarakat.
Baca juga: Cak Imin Kritik Pengadaan Pangan Tak Libatkan Petani, tapi Korporasi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya