KOMPAS.com – Organisasi aktivis lingkungan Greenpeace Indonesia mengapresiasi Kejaksaan Agung yang menetapkan Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group sebagai tersangka korporasi dalam kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit dan turunannya, termasuk minyak goreng.
Langkah tersebut dapat membuka jalan untuk mengoptimalkan pengungkapan kasus korupsi di balik kelangkaan minyak goreng pada akhir 2021-2022.
Sebelumnya, ada lima terdakwa asus dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah yang hanya dijatuhi hukuman ringan pada awal tahun ini.
Baca juga: Kejagung Tetapkan 3 Perusahaan Jadi Tersangka Korupsi Minyak Goreng
Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan, kelima terdakwa hanya dihukum ringan dan diminta membayar ratusan juta rupiah. Padahal kerugian negara mencapai triliunan rupiah.
“Penetapan tersangka korporasi ini dapat menjadi upaya untuk pemulihan kerugian negara secara lebih optimal,” kata Arie dalam pernyataan tertulis.
Desakan menjerat korporasi dalam kasus kelangkaan minyak goreng telah lama disuarakan oleha masyarakat sipil.
Korupsi izin ekspor minyak sawit dinilai menyebabkan kelangkaan dan melambungnya harga minyak goreng yang menyusahkan rakyat, serta merugikan keuangan negara hingga Rp 6,47 triliun.
Baca juga: Aprindo Pertanyakan Keseriusan Mendag Zulhas Soal Utang Minyak Goreng
Greenpeace Indonesia mendesak penegak hukum bertindak progresif dengan cara menjerat korporasi demi memulihkan keuangan negara.
Kejaksaan Agung juga diminta memastikan ketiga tersangka korporasi dibawa ke persidangan dan dituntut bertanggung jawab atas kerugian keuangan negara.
Greenpeace Indonesia turut meminta supaya Kejaksaan Agung menerapkan pendekatan pidana pencucian uang untuk menutup celah penghindaran lewat berbagai skema aksi korporasi.
Selain itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu memastikan tak ada dominasi pelaku usaha di tingkat hilir untuk mencegah persaingan tidak sehat.
Baca juga: KPPU Siap Hadapi Gugatan Lima Perusahaan terkait Kasus Minyak Goreng
Berdasarkan data KPPU, 70 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh delapan perusahaan saja. Dominasi pelaku usaha rentan berujung pada besarnya pengaruh mereka dalam pembentukan kebijakan.
“Karena kasus ini masih tahap permulaan, publik perlu mengawal proses penegakan hukumnya dan memastikan terwujudnya proses peradilan yang bersih dan transparan,” kata Arie.
Arie berujar, pengungkapan kasus korupsi dalam penerbitan dokumen ekspor ini membuka kotak pandora sengkarut pengelolaan sawit.
“Masih segar di ingatan publik betapa sulitnya memperoleh minyak goreng pada akhir 2021 hingga 2022, bahkan dampaknya masih terasa sampai sekarang. Harga minyak goreng tidak pernah kembali ke harga sebelum terjadinya kelangkaan,” ujar Arie.
Baca juga: Pemerintah dan Pengusaha Beda Data soal Jumlah Utang Minyak Goreng
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya