Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masyarakat Sipil Dorong Kejagung Usut Grup Korporasi Sawit Dalam Korupsi Ekspor CPO

Kompas.com - 11/11/2023, 13:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Koalisi organisasi masyarakat sipil menyampaikan legal anotasi putusan kasus korupsi persetujuan ekspor minyak sawit mentah atau CPO kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) RI.

Koalisi tersebut terdiri atas Satya Bumi, Greenpeace Indonesia, Sawit Watch, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yayasan Madani Berkelanjutan, dan Indonesia for Global Justice.

Penyerahan dilakukan secara resmi kepada Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung RI Ketut Sumedana di kantor Kejagung RI, Jakarta Selatan, pada Selasa (7/11/2023).

Baca juga: Sektor Kontruksi dan Industri Sawit Topang Pertumbuhan Ekonomi Bangka Belitung

Dalam siaran persnya, koalisi tersebut menilai kasus ini penting untuk disorot. Pasalnya, penegakan hukum terhadap korupsi ekspor CPO menyangkut hajat hidup orang banyak secara langsung.

Di sisi lain, kasus ini merupakan terobosan yang dilakukan oleh Kejagung dalam penegakan hukum kasus korupsi, terutama berkaitan dengan korupsi sumber daya alam dengan pelibatan aktor korporasi.

Salah satu bentuk terobosan dalam dakwaan jaksa adalah penerapan unsur kerugian perekonomian negara yang jauh lebih luas dibanding kerugian keuangan negara.

Meski demikian, terdapat beberapa catatan kritis terhadap kasus ini. Pertama, dari sisi penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi.

Baca juga: PTUN Jayapura Tolak Gugatan Suku Awyu Papua yang Menentang Perkebunan Sawit

Jaksa dalam dakwaan primer menerapkan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan dakwaan sekunder Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Penerapan pasal ini menjadikan pembuktian fokus pada aktor pemerintah. Sementara terkait peran korporasi dilihat sebagai turut serta.

Semestinya, Pasal 20 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi bisa diterapkan pada kasus ini, yang mana telah mengadopsi teori pertanggungjawaban pidana korporasi vicarious liability. Teori ini bisa menjerat pelaku korporasi sejak awal.

Kedua, pengabaian peristiwa lahirnya kebijakan yang membuka ruang terjadinya tindak pidana korupsi ekspor CPO.

“Jika mempertimbangkan peristiwa perubahan kebijakan yang terjadi, kasus ini bisa dikembangkan menjadi korupsi kebijakan,” ujar Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien dalam siaran persnya.

Baca juga: Varietas Baru Sawit Siap Dipasarkan, Tingkatkan Kualitas TBS 30 Persen

Kebijakan yang dimaksud yaitu rangkaian perubahan peraturan menteri perdagangan perihal domestic market obligations (DMO) yang berubah dalam hitungan hari.

Catatan lain yang menjadi perhatian pada kasus ini adalah belum tergalinya motif dari sisi pemerintah.

Perubahan kebijakan yang begitu drastis dan membuka ruang bagi korporasi untuk bermanuver dalam persetujuan ekspor.

Hal ini yang mendorong terjadinya tindak pidana korupsi pada persetujuan ekspor ini. Apalagi kasus ini tidak dapat dilepaskan dari peristiwa langkanya minyak goreng di Indonesia

“Karena saat ini Kejaksaan Agung menindak korporasi secara terpisah, Jaksa Penuntut Umum harus memastikan pertanggungjawaban korporasi menyasar grup, dalam konteks ini melihat relasi perusahaan yang terlibat korupsi ekspor CPO dengan grup perusahaan sebagai single economic entity (entitas ekonomi tunggal),” ujar Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra.

Baca juga: Berdayakan Petani Swadaya, Musim Mas Komitmen Keberlanjutan Industri Kelapa Sawit

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau