Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Karbon "Urban Farming" 6 Kali Lipat Lebih Besar dari Pertanian Konvensional

Kompas.com - 10/02/2024, 11:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebuah studi terbaru menunjukkan fakta mengejutkan dari urban farming, atau kegiatan pertanian di perkotaan dengan memanfaatkan lahan terbatas.

Menurut studi tersebut, dilansir dari Anthropocene, Jumat (9/2/2024), rata-rata urban farming memiliki jejak karbon enam kali lebih besar dibandingkan pertanian konvensional.

Kendati demikian, data-data penelitian juga menunjukkan bahwa secara individual, banyak urban farming yang lebih baik bagi bumi dibandingkan pertanian konvensional.

Sebab, para petani di wilayah tersebut telah mengambil langkah-langkah tertentu yang jika diterapkan secara luas, dapat mengubah urban farming menjadi sebuah kekuatan yang membawa kebaikan.

Baca juga: Indonesia-Jepang Kolaborasi Olah Limbah Pertanian Jadi Biofuel dan Biokimia

Adapun peneliti utama temuan ini, Jason Hawes, mengatakan bahwa studi tersebut tidak menyerukan diakhirinya urban farming.

“Sebaliknya, kami ingin memberikan bukti kuantitatif mengenai jejak karbon urban farming, yang pada gilirannya memungkinkan kami mengidentifikasi cara untuk mengurangi dampak terhadap iklim," ujar Hawes.

Sebagai informasi, urban farming biasanya dianggap unggul karena keanekaragamannya, rendahnya tingkat penggunaan pupuk dan pestisida, serta berkurangnya emisi transportasi pangan.

Urban farming sering dilihat sebagai harapan untuk melawan model pertanian konvensional yang monokultur, di mana makanan biasanya ditanam bermil-mil jauhnya dari populasi yang menjadi sumber makanannya.

Karena kelestarian lingkungan adalah motivasi utama para pekebun kota dalam menanam pangan, para peneliti merasa perlu untuk benar-benar menguji kredibilitas keberlanjutan ini.

Metode penelitian

Dalam melakukan penelitian, mereka bekerja sama dengan ilmuwan dan warga untuk mengumpulkan data dari 73 pertanian di perkotaan, yang tersebar di lima negara yaitu Prancis, Jerman, Polandia, Amerika Serikat, dan Inggris.

Baca juga: Tarik Minat Pemuda, Pertanian Dinilai Perlu Masuk Kurikulum SD-SMA

Sampel ini mencakup berbagai jenis pertanian, mulai dari petak rumah kecil dan kebun masyarakat tempat para peserta menanam pangan untuk konsumsi pribadi, hingga pertanian kota di mana pangan ditanam untuk keuntungan komersial.

Untuk masing-masing proses tersebut, para peneliti menghitung emisi karbon dari berbagai input, mulai dari bahan yang digunakan untuk membuat bedengan, hingga pupuk dan kompos.

Jejak keseluruhan dari masing-masing perkebunan kemudian dinyatakan sebagai ukuran per standar porsi buah dan sayuran, dan kemudian dibandingkan dengan ukuran yang sama pada pertanian konvensional.

Dari sampel 73 lokasi, mereka menemukan bahwa rata-rata jejak karbon pertanian perkotaan lebih besar dibandingkan pertanian konvensional, hingga enam kali lipat.

Atau setara dengan 420 gram CO2 per porsi makanan dari pertanian perkotaan, dibandingkan 70 gram per porsi yang dihasilkan dari pertanian konvensional.

Dalam angka tersebut, sumber karbon terbanyak berasal dari infrastruktur yang diperlukan untuk membangun urban farming, seperti bedengan, gudang kompos, dan pertamanan. 

“Hal ini sebagian disebabkan oleh relatif sementaranya urban farming. Namun hal ini juga muncul dari sifat lokasi penanaman pangan di perkotaan: terdapat lebih banyak kayu dan batu baru yang ditanam di taman perkotaan dibandingkan dengan rata-rata lahan terbuka besar di pedesaan,” jelas Hawes.

Salah satu urban farming yang dikembangkan di RPTRA Sunter Muara, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara.Dok. Humas Pemkot Jakarta Utara Salah satu urban farming yang dikembangkan di RPTRA Sunter Muara, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Namun, meskipun sebagian besar urban farming menunjukkan jejak karbon yang lebih tinggi, terdapat variasi yang sangat besar dalam sampel.

Faktanya, di sejumlah kecil lokasi urban farming—17 dari 73 lahan—jejak karbon jauh lebih rendah dibandingkan lahan pertanian konvensional.

Para peneliti juga memperhatikan bahwa dalam beberapa kasus, pengurangan jejak karbon ini sejalan dengan tanaman tertentu.

Misalnya, tomat yang ditanam di udara terbuka jauh lebih berkelanjutan, dibandingkan dengan tanaman dari pertanian konvensional yang sering kali ditanam di rumah kaca yang sumber dayanya intensif dan diangkut dalam jangka waktu lama.

Saran dari peneliti

Adapun dari beberapa temuan tersebut, Hawes menyebut ini tidak berarti bahwa urban farming harus diabaikan. 

Sebaliknya, Hawes menyebut para peneliti dapat menyarankan beberapa praktik baik yang dapat mengubah urban farming menjadi kekuatan untuk kebaikan iklim.

Baca juga: Cara HK Bantu Masalah Lingkungan, Gelar Urban Habitsphere di Kampung Proklim

Pertama, para petani dapat mengatasi sumber emisi karbon terbesar yang berasal dari infrastruktur. Caranya dengan perbaikan kondisi kepemilikan lahan, sehingga petani perkotaan tidak diusir dari lahannya dan terpaksa pindah, yang merupakan hal lazim urban farming di kota-kota besar di seluruh dunia.

Sebab, data statistik menunjukkan bahwa lahan sayuran yang hanya bertahan selama lima tahun memiliki jejak karbon empat kali lebih tinggi dibandingkan lahan yang dibiarkan selama 20 tahun.

“Selain memperpanjang umur pertanian dan kebun perkotaan, kami mencatat bahwa petani pangan dapat menghemat karbon dengan menggunakan bahan-bahan reklamasi untuk membangun infrastruktur mereka,” kata Hawes.

Kemudian, pemilihan tanaman yang cerdas adalah cara lain untuk menurunkan emisi karbon pada urban farming.

Selain itu, studi tersebut juga menyarankan mendaur ulang sampah perkotaan menjadi kompos, sebagai cara lain untuk mengimbangi biaya karbon.

Intinya, kata Hawes, urban farming mempunyai potensi menjadi lebih ramah lingkungan jika dilakukan dengan tepat.

Urban farming memiliki banyak manfaat bagi kota dan masyarakat yang berpartisipasi di dalamnya. Namun kita harus memahami dinamika karbonnya dan bagaimana merancang produksi pangan perkotaan yang lebih hemat karbon," pungkas dia.

 

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com