KOMPAS.com - Calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo-Gibran, berkali-kali menyatakan programnya untuk memberi makan siang gratis kepada anak-anak Indonesia.
Dalam debat kelima Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 pada Minggu (4/2/2024) di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta Pusat, program ini juga disinggung.
"Memberi makan bergizi untuk seluruh anak-anak Indonesia termasuk yang masih dalam kandungan ibunya dan selama sekolah sampai dari usia dini sampai dewasa," ujar Prabowo.
Mengutip publikasi berjudul Visi, Misi dan Program Prabowo-Gibran, kebijakan ini dianggap mampu mengatasi angka kematian ibu hamil dan meningkatkan kesehatan anak kurang gizi.
Baca juga: Angka Stunting NTT Ditarget Turun Jadi 10 Persen Tahun Ini
Selain itu, dapat mengatasi stunting, menghilangkan kemiskinan ekstrem, serta menyerap semua hasil panen para petani dan nelayan.
Makan gratis juga diyakini mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga dapat mengatasi masalah-masalah dalam memperbaiki kualitas hidup rakyat Indonesia.
Menurut Prabowo, program makan siang dan susu gratis sudah dilaksanakan di kurang lebih 76 negara di dunia, termasuk negara-negara dengan pendapatan per kapita setengah dari Indonesia, seperti Kamboja, India, dan Malaysia.
"India sudah melaksanakan kalau nggak salah lima tahun lebih. Kamboja dan Malaysia, mereka berani melaksanakan. Menurut saya, ini jawaban untuk stunting, terhadap investment for growth," ujarnya, dikutip dari Kompas.com, (31/1/2024).
Menurut Prabowo, program makan siang dan susu gratis ini bukan hal yang sia-sia, karena juga termasuk dalam cakupan bantuan sosial dan juga pendidikan.
Adapun program ini menargetkan lebih dari 80 juta penerima manfaat dengan cakupan 100 persen pada tahun 2029.
Baca juga: Makan Siang Tidak Efektif Atasi Stunting, Harus dari Kandungan
Lebih lanjut, sumber makanan program ini diklaim diutamakan dari produk lokal, sehingga program ini akan berdampak besar pada berputarnya roda perekonomian di daerah.
Lalu, apakah benar kebijakan makan siang gratis Prabowo-Gibran dapat menjadi solusi untuk mengatasi sejumlah persoalan kesehatan dan kemiskinan esktrem?
Diberitakan Kompas.com (7/2/2024) sebelumnya, Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Aris Arif Mudayat menyampaikan, kebijakan makanan gratis tidak sesuai dengan persoalan Indonesia saat ini.
"Tidak seperti itu, ada yang lebih penting. Misalnya, tidak bisa bayar sekolah, tidak bisa ke fasilitas kesehatan. Ini lebih konkrit meski ada yang tidak bisa makan," ujarnya.
Ia menjelaskan, pemerintah seharusnya membereskan sistem ketahanan kesehatan, pangan, sosial, dan ekonomi yang ada pada masyarakat. Menurutnya, semua presiden dan pemerintah Indonesia selama ini kurang bisa membangun ketahanan tersebut.
Karenanya, pemberian bantuan sosial serta kebijakan makan gratis tidak menyelesaikan masalah. Sebab, tidak ada sistem ketahanan sosial dan ekonomi di Indonesia yang kuat.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Eko Prasodjo menyoroti risiko di balik penerapan program makan gratis.
"Mungkin perlu dipikirkan implementasinya di lapangan. Dana bansos saat ini saja banyak sekali masalahnya, terutama berkaitan dengan data orang miskin," ujar Eko.
Baca juga: Cegah Stunting di Masa Depan, Remaja Putri Perlu Cukupi Kebutuhan Nutrisi
Menurutnya, pemerintah pusat tidak memiliki instansi vertikal pada tingkat pemerintah daerah. Padahal, pemerintah kabupaten atau kota memiliki kewenangan otonomi sendiri.
Selain itu, data penerima bantuan yang tidak valid juga dapat membuat akuntabilitas penerima makan siang gratis akan bermasalah. Dana APBN yang ada, kata dia, juga tidak cukup.
Saat ini, beban fiskal Indonesia terpakai oleh banyak hal, seperti transfer daerah, gaji, utang, dana desa, dan subsidi lain.
"Tahun ini dan tahun-tahun mendatang, ruang fiskal APBN kita akan semakin kecil karena tambahan gaji untuk rekrutmen baru 2,3 juta ASN kurang lebih Rp 100 tiliun per tahun, dan pembangunan IKN," imbuhnya.
Oleh karena itu, Eko menilai kebijakan ini kurang tepat sasaran dan tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan, karena berpotensi terjadi banyak penyimpangan.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio juga menyoroti implementasi program makan gratis yang berisiko menimbulkan korupsi dan peningkatan impor bahan baku dari luar negeri.
"Sekarang yang harus diciptakan itu lapangan pekerjaan agar (warga) bisa kerja dan makan. Bantuan oke, tapi mekanismenya harus diatur dulu," ujar Agus.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya