INDONESIA baru-baru ini menorehkan catatan gemilang dalam sektor energi dengan peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung sebesar 145 Megawatt di Waduk Cirata, Jawa Barat. PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara saat ini.
Pasokan listrik Ibu Kota Negara (IKN) yang baru juga akan ditopang dari PLTS 50 MW. Namun, di balik kegemilangan ini, ironisnya masyarakat masih kesulitan memasang PLTS atap di rumah mereka sendiri.
Masyarakat masih kesulitan mengakses PLTS atap meskipun adanya Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2024 yang baru saja dirilis, khususnya terkait ekspor listrik.
Aturan ini membuat balik modal menjadi sulit dicapai dan menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat.
PLN tampak masih enggan terhadap pelanggan yang ingin memulai transisi energi dari rumahnya sendiri. Padahal, PLTS atap ini bertempat di rumah mereka sendiri, uang sendiri, dan risikonya pun ditanggung sendiri.
Tujuan penghematan tagihan listrik, yang menjadi daya pikat utama, tidak lagi tercapai sesuai harapan. Aturan baru tersebut nampaknya lebih mengakomodasi kemauan PLN agar pelanggan menggunakan listriknya sendiri.
Namun, faktanya tidak semua pola penggunaan listrik pelanggan PLTS atap sama.
Bagi pelanggan yang sifatnya bisnis atau usaha yang kegiatannya aktif di siang hari dan butuh banyak listrik, sebetulnya PLN tidak memperhitungkan ekspor, tidak akan terpengaruh signifikan.
Misal, kantor/gudang/sekolah/tempat belanja yang beroperasi dari pagi hingga sore. Mereka bisa langsung memanfaatkan listrik dari panel surya untuk menyetrum mesin AC, lemari pendingin makanan, kipas ventilasi, lampu penerangan, dan peralatan lainnya.
Mereka tidak begitu terdampak atas revisi aturan yang baru sebagaimana pelanggan rumah tangga biasa.
Meski begitu, lain halnya bagi pelanggan biasa. Misalnya, seorang guru yang memasang PLTS atap di rumahnya, untuk memberikan contoh teladan transisi energi, malah akan kesulitan menggunakan listriknya sendiri.
Guru tersebut sehari-hari tidak di rumah karena mengajar di sekolah. Atau, misalkan, rumah ibadah (gereja) yang hanya digunakan pada hari Minggu, listrik PLTS atapnya pada hari biasa akan dinikmati oleh PLN secara gratis. Apakah ini adil?
Jika tidak ingin listriknya dikirim ke PLN secara gratis, maka sang guru atau rumah ibadah tersebut perlu menyimpan produksi listrik PLTS atap ke penyimpan listrik atau baterai. Lalu digunakan pada malam hari atau saat mereka membutuhkannya saat beraktivitas.
Program Just Energy Transition Program (JETP) telah digulirkan dalam rangka mempercepat transisi energi di Indonesia. Ada kata “just” dalam nomenklatur program ini.
Secara filosofis, program ini dimaknai sebagai program transisi energi yang adil. Kata "adil" perlu digarisbawahi, dicetak tebal, dan diperbesar. ADIL.
Berlaku adil ini tentunya bukan hanya untuk transisi energi yang dilakukan oleh PLN dan pemilik modal saja, ataupun untuk skala besar saja. Keadilan ini perlu juga dirasakan oleh masyarakat.
Mengapa PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang pemilik sahamnya adalah rakyat, bisa-bisanya berlaku tidak adil?
PLTS skala besar yang dibangun PLN toh listriknya untuk rakyat. Sama dong, PLTS atap pun untuk rakyat!
Sungguh tidak adil jika hanya berpusat pada pemilik modal. Masyarakat harus dibolehkan membuat energinya sendiri.
Beri juga ruang untuk inisiatif warga terlibat dalam transisi energi. Masyarakat yang ingin memasang PLTS atap untuk memasok sebagian listriknya sehari-hari, jangan dihambat.
Harusnya malah didukung. Dimotivasi dengan insentif. Bukan dipersulit, apalagi diminta menyetor secara gratis listriknya ke PLN.
Kita sering dicekoki dengan nasihat bahwa untuk mengubah dunia perlu dimulai dari diri sendiri. Jika kita setuju dengan hal tersebut, demokrasi transisi energi bersih dapat diawali dari rumah-rumah.
Jadi, perlu diberikan kemudahan untuk pelanggan PLN yang ingin memasang PLTS atap.
Mari kita lihat, negara tetangga kita, Australia. Mereka sangat mendukung PLTS atap. Ragam subsidi harga PLTS atap dikucurkan.
Subsidi baterai diberikan bagi yang ingin menggunakan listrik tanpa mengirimnya ke jaringan.
Tidak heran jika setiap satu dari dua rumah, kita bisa menemukan PLTS atap di sana. Hebatnya lagi, PLTS atap ini juga ditawarkan oleh 'PLN' Australia ke pelanggannya.
Saat ini kapasitas PLTS atap di Australia mencapai 33 Gigawatt (3,6 juta pelanggan). Indonesia dapat mencontohnya.
Indonesia pernah memberikan subsidi untuk pelanggan PLTS atap pada tahun 2022 yang disebut sebagai Sustainable Energy Fund. Hal semacam ini pun dapat direplikasi. Ambil dari sebagian dana Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP) untuk subsidi masyarakat.
Mirip dengan subsidi dan insentif untuk menciptakan ekosistem kendaraan listrik, maka program subsidi baterai dapat menjadi solusi tambahan.
Apalagi, hilirisasi nikel dan pengembangan baterai dalam negeri juga menjadi fokus Pemerintah saat ini.
Indonesia telah membangun pabrik baterai “Indonesia Battery Corporation” (IBC) yang merupakan anak usaha patungan antara empat BUMN besar, yaitu PLN, Aneka Tambang, Mind.ID, dan Pertamina.
Subsidi baterai juga akan mendorong masyarakat membeli baterai untuk menyimpan listrik di rumahnya. Ini akan menciptakan pasar domestik yang masif. Selain baterai kendaraan listrik, IBC juga dapat memproduksi baterai untuk PLTS.
Jika PLTS atap ini 'booming' di Indonesia, maka banyak masyarakat yang mendapat manfaat. Efek dominonya besar.
Bayangkan usaha instalasi PLTS atap akan menjamur. Pelatihan-pelatihan instalatir. Pelatihan jasa pemeliharaan panel. Jasa sertifikasi tenaga kerja juga tumbuh.
Betapa banyak lapangan kerja baru tercipta. Bukan kah itu yang kita inginkan?
Lebih jauh lagi, investor akan tertarik membangun pabrik panel surya di Indonesia dengan potensi market yang besar. Jelas bahwa banyak pihak terlibat, suatu bentuk demokrasi transisi energi yang konkret.
Pernahkan juga terpikir bahwa ibu-ibu di rumah bisa menyediakan makanan lebih bergizi dari uang penghematan tagihan listrik. Anak-anak makan lebih sehat, keluarga bahagia.
Data radiasi matahari adalah data yang tidak mudah didapatkan. Jikapun ada, kebanyakan berupa data satelit yang sifatnya menggunakan data cuaca dan dihitung perkiraan radiasi matahari dan potensi saat dikonversi menjadi listrik.
Ibaratnya analog dengan Pemilu yang masih hangat, data ini mirip seperti data survei elektabilitas sebelum Pemilu. Sifatnya prediksi. Data yang sifatnya pengukuran langsung membutuhkan biaya besar.
Bayangkan jika jutaan koordinat pelanggan, pola produksi PLTS atap milik pelanggan dikumpulkan melalu advance metering dan dianalisis. Betapa tingginya akurasi data pola produksi listrik harian panel surya yang akan dimiliki PLN.
Bila dipadukan dengan analisis menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence), bukan hal sulit untuk membuat prediksi harian yang akurat untuk perencanaan operasi sistem.
Kemajuan teknologi dan ketersediaan data yang akurat akan mampu mengatasi intermitensi energi surya, sehingga tidak lagi menjadi alasan keengganan PLN terhadap PLTS atap.
Dengan kebijakan yang mendukung dan memfasilitasi masyarakat, serta partisipasi aktif dari pemerintah, PLN, dan warga, kita dapat memastikan bahwa transisi energi menuju keberlanjutan dan inklusivitas tidak hanya menjadi impian, tetapi juga kenyataan yang dapat dinikmati oleh semua masyarakat.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya