KOMPAS.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai bursa karbon Indonesia merupakan yang terbaik dibandingkan dengan beberapa negara lain.
Menurut Direktur Pengawasan Bursa Karbon OJK Aldy Erfanda, bursa karbon Indonesia bahkan terbesar di tingkat ASEAN, dengan volume transaksi cukup besar.
“Pemerintah pusat dan kementerian terkait sepakat bahwa launching itu harus disegerakan, sebab isu perubahan iklim sangat mengemuka dan mendesak dicarikan solusi efektifnya,” ujar Aldy, dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (4/3/2024).
Sebagai informasi, Indonesia telah mulai melakukan perdagangan kredit karbon perdana pada 26 September 2023 lalu.
Baca juga: Begini Cara Perhitungan Potensi Penyimpanan Karbon di Indonesia
Hal tersebut memiliki misi yang cukup penting, karena menciptakan pasar dalam mendanai pengurangan emisi gas rumah kaca dan menjadi peserta utama dalam perdagangan karbon global.
Saat itu, peluncuran perdagangan bursa karbon diresmikan langsung oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Aldy mengatakan, berdasarkan penetapan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang menyelenggarakan perdagangan ini adalah Bursa Efek Indonesia (BEI).
Izin usaha Penyelenggara Bursa Karbon telah diberikan kepada BEI oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Surat Keputusan nomor KEP-77/D.04/2023 pada 18 September 2023 lalu.
Lebih lanjut, kata dia, perdagangan karbon melalui bursa karbon menjadi proyek strategis nasional (PSN).
Di samping volume, Indonesia perlu berbangga dengan apa yang dijalankan, karena mengadopsi sistem perdagangan karbon yang paling kompleks di dunia.
Baca juga: Reko WS Hadir di 40 Lokasi, Tekan 12.000 Ton Emisi Karbon Setahun
“Kenapa paling kompleks? Karena kita memilih proses Cap-Trade-Tax. artinya dilakukan penetapan cap atau allowancex kemudian dilakukan trade artinya perdagangan karbon, dan tax artinya diterapkan pajak karbon,” tutur Aldy.
Ia menjelaskan, aturan negara lain lebih sederhana. Sebab, di beberapa negara tetangga, ada yang langsung tax, tidak ada penetapan batas atas dan tidak ada fasilitas trading.
Ada juga negara lain yang menerapkan batas atas dan trade-nya, tetapi tidak ada tax-nya.
“Nah, itu yang perlu kita banggakan dengan sistem yang kita pilih, meski sangat kompleks,” kata Aldy.
Secara global, ia mengeklaim Indonesia menjadi negara yang sangat dipandang secara internasional mengenai perdagangan karbon melalui bursa karbon.
Baca juga: Dapatkah Nilai Ekonomi Karbon (NEK) Dirasakan Masyarakat Adat?
Apalagi, Indonesia sangat spesifik untuk mencapai target nationally determined contribution (NDC).
“Jadi per sektor harus bekerja, seperti sektor forest and other land uses (FOLU), energi, dan limbah,” ujar Aldy.
Aldy menargetkan, tahun 2024 ini bisa membuka perdagangan karbon internasional di bursa karbon Indonesia.
“Ini tidak mudah, karena kita harus mempersiapkan bermacam regulasi yang mendukung target tersebut yang sudah ada regulasi mendasarnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, pilot projek tengah disusun bersama kementerian terkait lainnya, tidak hanya OJK.
Baca juga: Strategi Satgas TEN Dorong Transisi Energi, Ada Penyerapan Karbon
Dengan tahapan ini, sejumlah negara seperti Australia, AS, Jepang, hingga Taiwan, sudah tertarik dan menanyakan perihal bursa karbon kepada OJK.
Aldy menilai, antusiasme dunia internasional kepada potensi karbon Indonesia, karena Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan yang besar.
“Nature base kita memang sangat besar. Kita bekerja keras soal perdagangan karbon ini karena kita ingin memberikan kontribusi yang juga amat besar bukan saja bagi kepentingan nasional, tapi dunia internasional mengingat penurunan emisi global sangat penting,” pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya