JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksplorasi PT Pertamina Hulu Migas (PHE) Muharram Jaya Panguriseng mengungkapkan, ada tiga golongan perusahaan minyak dalam menyikapi Kesepakatan Paris (Paris Agreement).
Hal ini seiring upaya mereka dalam menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan mewujudkan ketahanan energi pada masa depan perlu berjalan beriringan.
Pertama adalah perusahaan yang langsung mengambil posisi go green. Kedua, perusahaan minyak yang tetap melanjutkan bisnis energi fosil sambil menumbuhkan energi-energi hijau.
Baca juga: Indonesia Punya Stasiun Pengisian Hidrogen Pertama, Dipasok dari Energi Hijau
“Kalau kita lihat mereka spend capital expenditure-nya sekitar 30 persen untuk mengembangkan energi yang green,” ujar Muharram dalam sesi “Energy as A Driver of Economic Growth”, rangkaian Indonesian Data Economic and Conference (IDE) Katadata 2024 yang digelar di Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Ketiga, perusahaan minyak yang tetap tumbuh dengan mengandalkan energi fosil. Namun, perusahaan-perusahaan ini juga memastikan solusi untuk mengurangi karbon.
Menurut Muharram, PHE berada pada kelompok ini dengan berupaya mengurangi emisi karbon pada kegiatan operasional melalui teknologi carbon capture storage (CCS) atau carbon capture, utilization, and storage (CCUS).
PHE juga berusaha untuk tidak menjadi penyumbang karbon tetapi paling tidak melakukan upaya-upaya untuk mengurangi karbon melalui CCS/CCUS.
"Kami menjaga ketahanan energi nasional karena bangsa ini masih membutuhkan itu. Lain soal kalau memang kita sudah mendapatkan energi terbarukan di mana Indonesia sudah percaya diri untuk beralih ke EBT,” tuturnya.
Baca juga: 248 Bendungan Dimanfaatkan demi Energi Hijau, Ini Potensinya
Selain itu, saat ini PHE sedang mempelajari salah satu energi yang sangat bersih yakni hidrogen.
PHE sedang mengupayakan satu jenis hidrogen yakni geologic hydrogen yang diambil langsung dari alam.
Salah satu negara yang telah melakukan hal tersebut adalah Australia. Menariknya, hidrogen tersebut didapat dari sumur-sumur migas lama.
“Kami berusaha mencari cara menemukan sumber energi baru yang bisa bersih. Yang paling menarik lagi, satu kilogram hidrogen bisa menghasilkan 40 kilo watt hour, artinya ini adalah pembakaran yang sangat bagus,” ungkap Muharram.
Sikap Indonesia
Upaya menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan mewujudkan ketahanan energi pada masa depan memang perlu berjalan beriringan.
Baca juga: Bahas Energi Hijau, Insinyur se-ASEAN Berkumpul di Bali
Hal ini mengingat, kebutuhan energi nasional akan terus meningkat dan itu perlu dicukupi dari energi fosil maupun energi baru terbarukan (EBT).
Go green memang sesuatu yang mutlak, namun demikian perlu diperhatikan target waktunya.
"Persoalannya, ini seperti dua mata uang, di satu sisi go green, di sisi lain ketahanan energi. Dua-duanya harus menggelinding sebagai kekuatan kita,” ujar Muharram.
Berkaca dari pentingnya menciptakan ketahanan energi, Pertamina agresif melakukan eksplorasi untuk menemukan sumber-sumber minyak dan gas bumi (migas). Sebab, energi fosil masih sangat dibutuhkan dalam proses transisi energi.
Muharram mengungkapkan, pada 2023 kebutuhan energi nasional mencapai 245 mega ton setara minyak dengan kontribusi EBT baru sekitar 13,1 persen.
Baca juga: Ekspansi di Bali, ATW Solar dan SED Dorong Kemandirian Energi Hijau
Sedangkan kebutuhan energi primer pada 2050 diproyeksikan mencapai 1.000 mega ton setara minyak. Pada periode itu porsi EBT diperkirakan sebesar 32 persen.
“Ketika melihat masih ada 44 persen migas (tahun 2050) yang harus dipenuhi, itu yang menjadi semangat kami di Pertamina untuk terus melakukan eksplorasi karena kalau tidak, kita mempertaruhkan bangsa untuk menjadi konsumen,” tutur Muharram.
Oleh sebab itu, menurutnya, Indonesia harus bijak dalam melihat proses transisi energi. Secara gradual Indonesia perlu memastikan bahwa energi dihasilkan semakin bersih, namun juga perlu memastikan keamanan ketahanan energi primer pada masa depan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya