RENTANG dan luas wilayah lautan Indonesia memiliki persentase lebih besar dari daratan. Badan Informasi Geospasial TNI AL menyatakan luas perairan seluas 6,4 juta km2 dan daratan 1,9 juta km2.
Karena itu, Indonesia menjadi negara dengan lautan terluas di Asia Tenggara, sekaligus ditasbihkan sebagai negara maritim atau bahari.
Atas dasar fakta tersebut, maka kekayaan yang bersumber dari laut menjadi sangat besar dan potensial. Mulai dari perikanan, pariwisata, pertambangan, dan energi.
Berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 19/2022, potensi sumber daya ikan di Indonesia mencapai 12,01 juta ton/tahun dan berada di peringkat 3 dunia setelah Tiongkok dan Peru.
Nilai ekonomi bisa mencapai Rp 200 triliun/tahun. Sungguh angka yang besar dan fantastis. Sayangnya ini belum bisa dikelola secara maksimal, persentase capaian masih rendah berkisar 30 persenan.
Banyak hal yang menjadi kendala optimalisasi pengelolaan sumber daya kelautan ini, mulai dari aspek teknis terkait teknologi dan sarana prasarana, kebijakan tata kelola kelautan, sampai pada persoalan politik luar negeri dalam menjamin kedaulatan wilayah perairan Indonesia.
Semua berkelindan menjadi satu dan kemudian menjadi rangkaian kerumitan pengelolaan laut.
Namun semua terus berproses, dan pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selalu berusaha mendorong dan mencari formula terbaik.
Harapannya, jika tidak terpenuhi secara maksimal, paling tidak peta jalan sudah sesuai dengan jalurnya.
Dari sekian banyak tantangan, salah satu persoalan besar dalam mengoptimalkan potensi laut adalah ancaman pencemaran.
Ini tidak main-main, karena karakteristik laut sebagai wilayah perairan, pencemaran menjadi sangat serius karena begitu mudah melebar ke berbagai tempat.
Berbeda dengan wilayah daratan yang relatif mudah untuk dilokalisir, laut membutuhkan metode tersendiri.
Terdapat beberapa hal yang menjadi sumber pencemaran wilayah lautan. Mengutip dari Waryenti dkk (2018), beberapa sumber pencemaran laut adalah sebagai berikut.
Pertama, penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan seperti bahan peledak.
Kedua, pembuangan limbah ke laut. Sebagai catatan, Indonesia saat ini menduduki peringkat ke 5 penyumbang sampah plastik ke laut. KLHK menyatakan 80 persen sampah di laut berasal dari daratan.
Ketiga, tumpahan minyak dan pembuangan zat-zat berbahaya dari kapal. Keempat, penambangan di kawasan laut yang berpotensi terjadinya aliran limbah.
Terhadap semua penyebab itu, maka menarik untuk melihat tiga aspek terakhir, yang intinya limbah dibuang ke laut sehingga air menjadi tercemar.
Pencemaran karena limbah masuk ke laut berkaitan dengan kebijakan industrialisasi di sektor yang berhubungan dengan wilayah perairan.
Selain itu, posisi strategis Indonesia terutama berada pada dua himpitan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, termasuk posisi penting berbagai selat seperti Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan wilayah Nusantara sebagai perlintasan berbagai kapal besar dari negara lain.
Aktifitas transportasi inilah yang kemudian menjadi sangat rentan terhadap pencemaran.
Kasus pencemaran minyak hitam di Batam dan Bintan pada 2023 lalu (Kompas, 13/102023), yang terjadi karena pembuangan limbah oleh kapal asing adalah salah satu bukti nyata.
Begitu juga dengan kasus tumpahan kapal pembawa aspal mentah di perairan Nias pada Februari 2023 lalu. Sebelumnya juga pernah terjadi di Teluk Balikpapan, Bali, Kepulauan Seribu dan Karawang. Bahkan daerah Kepualauan Riau terjadi setiap tahun.
Selain itu, pencemaran karena limbah juga disebabkan oleh aktifitas di daratan ataupun pertambangan yang berada di laut.
Protes Walhi Nasional tahun 2022 lalu yang mendesak pemerintah mengevaluasi berbagai kebijakan perizinan tambang dan perkebunan yang terindikasi merusak ekosistem laut di wilayah BANUSRAMAPA (Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua) adalah salah satu bukti nyata.
Laut dengan segala potensinya, tidak dipungkiri juga terancam oleh berbagai aktifitas yang dilakukan manusia itu sendiri.
Secara keseluruhan, dengan berkaca dari potensi yang ada, termasuk pada ancaman yang dihadapi laut, maka dalam kacamata pertahanan bernegara, ketidakstabilan wilayah lautan adalah persoalan dasar kedaulatan bernegara.
Sederhananya, di lautan jutaan rakyat Indonesia menumpangkan hidup mereka dengan menjadi nelayan tangkap. Jutaan orang juga berharap peningkatan ekonomi dari pariwisata laut. Wilayah laut juga menjadi batas kedaulatan bernegara.
Jika berbagai sektor kemudian menyebabkan laut tercemar dan merusak ekosistem, tentu saja mengacaukan potensi yang harus dijaga. Stabilitas keamanan akan terganggu, dan terpenting keberadaan ekosistem kelautan yang berkelanjutan menjadi taruhannya.
Untuk itu, ragam solusi harus dikonkretkan. Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi pernah mencanangkan solusi dengan Manajemen Krisis Laut.
Kebijakan ini menitikberatkan pada kajian strategis tentang risiko dan peluang yang harus diambil, termasuk ancaman dari negara lain.
Untuk level kebijakan atau sektor hulu, metode ini mungkin penting dan bisa dikatakan tepat. Namun dalam kacamatan manajemen bencana (Carter, 2018), antisipasi dan solusi harus menyeluruh.
Sektor hulu harus diselesaikan, tetapi sektor hilir juga harus diantisipasi. Konteks manajemen resiko memang mengharuskan itu.
Dalam hal ini, saya menawarkan pendekatan teknologi dengan balutan inovasi-inovasi terapan mutlak harus dilakukan.
Kelemahan selama ini, tampak dari sulitnya melakukan langkah-langkah konkret saat masalah sudah terjadi. Apabila sektor hulu belum bisa berjalan maksimal, maka sektor hilir harus punya antisipasi cepat.
Kita bisa ibaratkan, saat orang sakit gigi, maka penyelesaian sektor hulu adalah membiasakan orang agar rajin memelihara dan menjaga gigi.
Namun saat gigi masih juga sakit, maka solusi tercepat dan terdekat harus dilakukan. Manajemen militer sudah sangat kental dengan pendekatan seperti ini.
Pendekatan teknologi adalah pendekatan yang bertumpu pada realitas masalah yang sudah terjadi.
Saat laut sudah tercemar, air sudah menjadi hitam, ikan sudah mati, nelayan tak bisa melaut, apa yang harus dilakukan? Tak cukup hanya menangkap pelaku, tapi membersihkan laut harus yang pertama dilakukan.
Banyak sebetulnya yang bisa dilakukan, semua kembali pada keinginan dan kemampuan untuk terus berinovasi.
Salah satu teknologi konkret adalah penggunaan serbuk organik yang berfungsi sebagai penyerap sekaligus pengurai berbentuk liquid. Proses sedang dilakukan, penyempurnaan terus dimaksimalkan hingga sampai pada satu titik, formula siap meluncur.
Semua mungkin hanya dianggap sebagai buih-buih di lautan, minimal saat ini. Tetapi di balik semua itu, diperlukan daya imaginasi kuat untuk mengatakan bahwa dalam menyelesaikan masalah tidak perlu selalu bertumpu pada sektor hulu.
Alih-alih selalu mengeluh dan melakukan protes, lebih baik langkah kongkret yang dilakukan. Mungkin awalnya kecil, tapi itu adalah titik awal.
Bukankah nenek moyang kita sudah berkata, “setitik jadikan laut, sekepal jadikan gunung”. Terus berinovasi untuk laut yang bersih, nyaman, dan berdaulat.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya