BARU-baru ini, beberapa wilayah di Indonesia dilanda banjir ekstrem. Salah satunya, yakni Kabupaten Demak yang mengalami banjir parah pada 23 Maret 2024.
Banjir tersebut disebabkan hujan deras selama sepuluh hari berturut-turut, yang akhirnya menyebabkan enam bendungan jebol dan membanjiri sebagian besar jalan raya, infrastruktur publik, dan rumah-rumah dari ketinggian satu setengah meter hingga tiga meter.
Dua minggu sebelumnya, di pulau lain, Sumatera Barat, mengalami banjir dan longsor karena curah hujan ekstrem selama dua belas jam bersamaan adanya penyumbatan drainase.
Gubernur Sumatra Barat Mahyeldi Ansharullah mengatakan bahwa banjir tersebut terjadi utamanya akibat deforestasi yang masif.
Kabupaten Demak maupun Provinsi Sumatera Barat disebut sering mengalami banjir dalam beberapa tahun terakhir. Lalu, tindakan apa yang telah diambil oleh pemerintah untuk mencegah bencana yang sering terjadi ini?
Jika kita berbicara tentang manajemen risiko bencana, salah satu tindakan yang penting untuk dilakukan adalah memberikan peringatan dini tepat waktu kepada masyarakat yang tinggal pada kawasan rawan bencana.
Harapannya, mereka dapat mempersiapkan diri dan merespons secara tepat terhadap peristiwa banjir, baik yang ekstrem maupun regular.
Menurut beberapa penelitian, keberadaan sistem peringatan dini terbukti menyelamatkan lebih banyak orang dan lebih banyak aset ekonomi.
Namun, muncul pertanyaan mengenai sistem peringatan dini di Indonesia: Apakah sistem tersebut sudah dibangun?
Jika iya, sudah sejauh mana dikembangkan, dan apakah sistem tersebut efektif membantu populasi yang tinggal di kawasan risiko bencana untuk mengambil tindakan perlindungan seperti evakuasi?
Di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bertanggung jawab memantau, meramalkan, dan mengeluarkan peringatan dini untuk bencana hidrometeorologi dan geologi.
BMKG memang mengeluarkan peringatan dini untuk peristiwa banjir yang disebutkan di atas (Demak dan Sumatera Barat), di mana peringatan dini memberikan informasi adanya “cuaca ekstrem” sebelum terjadinya banjir.
Namun, laporan menunjukkan bahwa masih sangat banyak individu di kedua wilayah tersebut masih terkena dampak banjir secara signifikan.
Mengapa ini terjadi? Ada dua penjelasan yang memungkinkan: pertama, peringatan dini tersebut telah disebarkan, tetapi tidak diterima oleh semua orang.
Atau kedua, peringatan dini tersebut diterima, tetapi tidak dipahami oleh masyarakat. Dengan kata lain, terdapat “gap” dalam komunikasi dan pemahaman antara peringatan dini dan masyarakat.
Saat ini, informasi BMKG mengenai cuaca ekstrem semakin banyak didiseminasi melalui platform media sosial seperti X dan Instagram. Ketika terjadi gempa bumi, misalnya, orang-orang sering langsung pergi ke halaman web BMKG untuk mengkonfirmasi peristiwa tersebut.
Akun resmi Instagram dan X BMKG telah meluncurkan informasi mingguan tentang cuaca yang akan datang dan potensi curah hujan ekstrem.
Namun, beberapa informasi penting masih hilang dalam pesan peringatan, seperti “apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan masyarakat ketika terjadi bencana?”
Selain itu, meskipun peringatan dini selalu dikirimkan melalui media sosial, masih tidak pasti berapa banyak individu, khususnya yang tinggal di daerah rawan banjir, yang memiliki akses terhadap media sosial.
Oleh karena itu, ketergantungan semata-mata pada media sosial untuk penyebaran bisa jadi tidak mencukupi. Hanya memberi tahu masyarakat tentang potensi curah hujan lebat yang akan datang tidaklah cukup.
BMKG seharusnya tidak hanya membuat prediksi cuaca buruk, tetapi juga memberikan informasi mengenai potensi dampak yang akan terjadi, seperti potensi luasnya banjir, dan juga memberikan saran tentang tindakan yang harus diambil masyarakat untuk merespons banjir.
Pendekatan ini sejalan dengan prinsip People Centered and Actionable Early Warning System (PCEWS), yang menekankan pada peringatan dini tepat waktu, relevan, dan dapat dimengerti oleh masyarakat, sehingga mereka memiliki kapasitas untuk mempersiapkan diri dan merespons bencana secara efektif.
Berbeda dengan di Indonesia, Inggris telah menetapkan sistem peringatan dini yang memprioritaskan penilaian dampak dan memberikan panduan jelas yang disesuaikan dengan berbagai lapisan masyarakat.
Misalnya, saat curah hujan ekstrem, Transport for London (TfL) mengeluarkan peringatan untuk kereta bawah tanah dan bus dengan memberikan informasi secara detail terkait dampak yang kemungkinan terjadi seperti durasi dan rute kemacetan, potensi keterlambatan kereta bawah tanah.
Tak hanya itu, peringatan dini TfL juga memberikan informasi mengenai tindakan mitigasi, misalnya, mengambil rute alternatif untuk menghindari terjebak kemacetan lalu lintas.
Pesan peringatan dini dikirim tidak hanya melalui media sosial, tetapi juga melalui email, teks, dan surat kabar. Pesan yang diulang dari berbagai sumber membantu masyarakat memvalidasi informasi.
Contoh lain, yakni universitas secara proaktif memberi tahu mahasiswa dan staf tentang potensi gangguan terhadap aktivitas akibat cuaca ekstrem, kadang-kadang menyarankan studi jarak jauh untuk menghindari gangguan selama perjalanan ke sekolah.
Meskipun mewujudkan sistem peringatan dini yang ideal mungkin merupakan upaya jangka panjang, penting untuk mempercepat pengembangannya, mengingat Indonesia merupakan negara yang rawan akan bencana hydrometeorologi dan geologi.
Kolaborasi yang kuat antarpemangku kepentingan, mulai dari otoritas nasional hingga lokal dan dari badan pemerintah hingga entitas swasta, sangat penting untuk memajukan sistem peringatan dini.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya