Angka ini didapat karena Indonesia 75-80 persen carbon credit dunia dari hutan tropis, mangrove, gambut, rumput laut hingga terumbu karang.
Anggota Komisi Kehutanan DPR, Kamrussamad, memperkirakan potensi ekonomi bursa karbon Indonesia bersumber dari hutan tropis seluas 120,3 juta hektare dapat menyerap emisi karbon 25,18 miliar ton; mangrove seluas 3,31 juta hektare dan menyerap 33 miliar ton serta hutan gambut seluas 7,5 juta hektare yang menyerap 55 miliar ton.
Jika harga karbon Indonesia 5 dollar AS per ton saja, nilai ekonomi perdagangan karbon lewat bursa karbon sangat besar. Belum lagi, kalau pajak karbon akan diberlakukan tahun 2025 nanti.
Bahana Sekuritas memperkirakan pendapatan pajak yang dihasilkan dapat mencapai Rp 26 triliun hingga Rp 53 triliun atau 0,2 persen hingga 0,3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dengan asumsi tarif pajak sekitar 5 - 10 dollar AS per ton CO2 yang mencakup 60 persen emisi energi.
Pajak karbon yang berlaku adalah barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu dan pada periode tertentu, maka barang yang mengandung karbon dan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon juga harus diarahkan kepada aktivitas sektor penyumbang emisi karbon itu, yakni kehutanan (alih fungsi hutan dan kebakaran hutan), perhubungan (transportasi), perindustrian (limbah pabrik dan industri) dan pertanian.
Aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dari sektor kehutanan adalah hilangnya vegetasi kayu akibat penebangan hutan, baik secara legal (melalui perizinan resmi) maupun ilegal (melalui perambahan hutan dan pencurian kayu) serta kebakaran hutan.
Oleh karena itu, obyek pajak karbon untuk kehutanan juga harus disasar dari aktivitas ini dan tidak hanya terbatas barang yang mengandung karbon seperti pulp dan kertas saja.
Pemerintah Indonesia dalam hal ini KLHK boleh saja melakukan upaya diplomasi dengan UE untuk mencari kompromi tentang kebijakan EUDR. Namun, cepat atau lambat kebijakan EUDR tetap akan berlaku.
Dengan telah disetujui dan ditetapkannya aturan uji tuntas produk hasil hutan bebas deforestasi dan degradasi lahan oleh Parlemen Eropa yang umum disebut dengan European Union Deforestation free Regulation (EUDR), pemerintah Indonesia juga harus mengkaji dan meninjau ulang pengertian deforestasi dalam EUDR.
EUDR mendefinisikan deforestasi berdasarkan komoditas pertanian, perkebunan dan peternakan yang diproduksi dan dikeluarkan berasal dan dari kawasan hutan tidak terkecuali apakah hutan produksi apalagi hutan lindung dan hutan konservasi.
Ruang tumbuh dalam kawasan hutan yang telah digunakan oleh komoditas pertanian, perkebunan dan peternakan; kawasan hutan yang dimaksud tersebut telah mengalami deforestasi.
Regulasi EUDR mensyaratkan verifikasi atau uji tuntas produk yang dijual di Eropa tidak berasal dari lahan terdeforestasi, sesuai ketentuan hak asasi manusia, dan menghormati masyarakat adat.
Komoditas itu mencakup ternak, kakao, kopi, minyak sawit, kedelai dan kayu, termasuk produk yang mengandung atau menggunakan komoditas, seperti kulit, cokelat, dan furniture.
Parlemen Eropa juga ingin memasukkan daging babi, domba, kambing, dan unggas, jagung, karet, arang dan kertas.
EUDRR tampaknya tidak menghendaki konsep hutan tanaman industri (HTI) untuk kayu pertukangan dan pulp, agroforestri, silvopasturi, dan tanaman karet sebagai tanaman kehutanan.
Dalam hutan konservasi dan hutan lindung sebagai kawasan lindung, menurut UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, harus dibebaskan dari praktik-praktik penebangan kayu dan budi daya tanaman pertanian, perkebunan, dan peternakan tanpa kecuali meski atas nama agroforestri, silvopasturi, perhutanan sosial di hutan konservasi dan hutan lindung dalam skema apapun.
Di kawasan hutan produksi, budidaya tanaman hutan untuk kayu pertukangan dan pulp (bubur kertas) masih dapat diperdebatkan apakah masuk dalam wilayah deforestasi atau tidak karena sepanjang praktik silvikultur kehutanan dilaksanakan seperti penjarangan, pemangkasan maka kegiatan tersebut masuk dalam wilayah budidaya tanaman kehutanan serta bisnis utamanya adalah kayu.
Sementara budi daya komoditas sawit dan karet memang bukan masuk dalam wilayah budi daya tanaman kehutanan karena tidak mengenal adanya penjarangan dan pemangkasan serta core bisnis adalah TBS sawit dan getah.
Sebagai negara yang mempunyai kawasan hutan yang cukup luas (120,3 juta hektare) dengan posisi sebagai pemasok (produsen) komoditas pertanian, perkebunan dan peternakan yang cukup besar di kawasan Uni Eropa, Indonesia tidak punya waktu dan alasan memperdebatkan regulasi EUDR, kecuali mematuhi dan menyiasatinya.
Mengoptimalkan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang masih menganggur, yang luasnya masih 10,04 juta hektare akan lebih bijaksana jika dialihfungsikan menjadi kawasan pertanian, perkebunan, dan peternakan yang bebas deforestasi melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan.
Secara regulasi dan status, kawasannya dianggap sah dan legal tidak termasuk dalam katagori deforestasi yang dimaksud oleh regulasi EUDR.
Bagi kegiatan budi daya pertanian, perkebunan dan peternakan yang sudah telanjur masuk dalam kawasan hutan produksi (hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi biasa (HPB), akan lebih elok apabila diturunkan statusnya menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi (HPT) melalui mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan dalam satu kawasan fungsi hutan produksi.
Toh, luas perkebunan sawit yang telanjur ditanam dalam kawasan hutan hanya sekitar 1,2-1,7 juta hektare. Pada gilirannya nanti juga dapat diproses melalui pelepasan kawasan hutan agar secepatnya mendapat kepastian hukum.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya