Sebut saja kelapa sawit dan produk turunannya adalah komoditas andalan Indonesia. Neraca perdagangan RI mengalami surplus mencapai rekor tertinggi senilai 35,34 miliar dollar AS sejak 2004-2021.
Surplus neraca perdagangan tahun 2021 disumbangkan oleh lima komoditas utama, yakni batu bara, CPO (minyak sawit) dan turunannya, besi dan baja, otomatif dan suku cadang (spare part) dan yang terakhir barang elektronik.
Dari lima komoditas unggulan ekspor tersebut, minyak sawit dan turunannya menjadi andalan pemasukkan devisa negara bagi pemerintah saat ini.
Kontribusi pasar minyak kelapa sawit berkisar 35-40 persen dari total pasar minyak nabati dunia. Tahun 2021, nilai ekspor minyak kelapa sawit diperkirakan mencapai lebih dari 20 miliar dollar AS meningkat 155 persen dibandingkan tahun lalu.
Bagi Indonesia, minyak sawit adalah penyumbang devisa ekspor nonmigas terbesar senilai 27,3 miliar dollar AS selama periode Januari-Oktober 2021.
Ekspor minyak kelapa sawit ke Eropa terus meningkat, meskipun ada upaya beberapa negara produsen minyak nabati untuk mengeluarkan minyak kelapa sawit dari produk mereka.
Minyak sawit (CPO) produk Indonesia merupakan komoditas andalan yang lagi naik daun.
Kebijakan EUDR berpotensi besar menimbulkan efek negatif terhadap necara perdagangan Indonesia.
Pakar Hukum Bisnis dan Perdagangan Internasional dan Guru Besar dari Universitas Tarumanegara Jakarta, Prof. Dr. Ariawan Gunadi mengatakan, sebagai negara pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia, implementasi EUDR dapat menghambat perdagangan ekspor produk kelapa sawit dan turunannya, bahkan berpotensi memicu kerugian sebesar 7 miliar dollar AS atau Rp 107 triliun terhadap neraca perdagangan internasional Indonesia.
Ini membebani produsen kelapa sawit dan merugikan petani kecil dari rantai pasokan.
Padahal, industri sawit Indonesia mampu menyerap tenaga kerja 16,2 juta orang. Sementara petani kelapa sawit yang terlibat dan menguasai kebun sawit seluas 5–25 hektare jumlahnya jutaan orang dengan luas total mencapai 6,03 juta hektare dari 14,6 juta hektare kebun sawit di Indonesia.
Belum lagi dengan industri perkayuan Indonesia dan turunannya yang sudah mulai bangkit dengan rezim pengelolaan hutan lestari (PHL).
Meski, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjamin adanya kayu bersertifikat SVLK (sistem verifikasi legalitas kayu) yang telah mendapat pengakuan dari Uni Eropa dan disetarakan sebagai lisensi FLEGT (Forest Law Governance and Trade), namun produk turunan industri perkayuan seperti pulp dan kertas masih belum aman dengan adanya kebijakan EUDR.
Indonesia merupakan produsen terbesar kesembilan, sementara industri kertas menempati peringkat keenam di dunia.
Di wilayah Asia, Indonesia merupakan produsen peringkat ketiga untuk industri pulp dan dan keempat untuk industri kertas.
Industri pulp dan kertas dalam negeri diperkirakan akan terus tumbuh pada tahun mendatang. Apalagi, peluang pasar masih terbuka dan kapasitas produksi pulp dan kertas meningkat karena ada perluasan.
Sebagaimana negara Amerika Serikat, kebijakan EUDR akan berdampak negatif produsen pulp and paper yang sedang tumbuh dengan adanya persyaratan traceability dan geolocation yang sulit dipenuhi.
Demikian juga dengan komoditas lainnya seperti karet, kopi, kakao secara ekonomi juga akan mengganggu para petani kecil dalam memasarkan produknya keluar negeri.
Di sisi lain, EUDR juga membawa berkah secara langsung maupun tidak langsung. EUDR dapat menekan, mengendalikan dan menurunkan laju deforestasi dan degradasi lahan.
Di tengah krisis iklim yang melanda dunia secara global, menekan, mengendalikan dan menurunkan laju deforestasi dan degradasi lahan merupakan salah satu kegiatan mitigasi aksi penurunan gas rumah kaca (GRK) yang sangat nyata.
Aksi penurunan emisi GRK di sektor kehutanan adalah penurunan deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan hutan lestari, peningkatan cadangan karbon, peningkatan peranan konservasi dan pengelolaan lahan gambut.
Deforestasi khususnya alih fungsi lahan hutan untuk kepentingan non kehutanan merupakan penyumbang peningkatan emisi karbon di uidara.
Menurut data yang ada, sektor terbesar penyumbang emisi sebesar 48 persen berasal dari perubahan fungsi hutan menjadi non-hutan. Menyusul karbon dari transportasi sebesar 21 persen, kebakaran sebesar 12 persen, limbah pabrik sebesar 11 persen, pertanian 5 persen, dan sektor industri 3 persen.
Di balik musibah perubahan dan krisis iklim dunia yang harus dipulihkan, ditekan dan diturunkan kenaikan emisi GRK secara global; Indonesia sebagi negara kepulauan yang terletak di garis khatulistiwa yang mempunyai hutan tropika basah ketiga di dunia nampaknya diuntungkan dan memperoleh berkah ekonomi dari musibah krisis iklim ini melalui konsep menjual karbon yang jumlahnya melimpah.
Menurut Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan terdapat potensi besar dalam perdagangan karbon yang nilainya berkisar antara 82 miliar dollar AS sampai 100 miliar dollar AS.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya