KOMPAS.com - Negara-negara tetap bisa menjalankan fungsi politik mereka bahkan jika wilayah daratan mereka tenggelam.
Kesimpulan tersebut merupakan hasil dari laporan Komisi Hukum Internasional setelah mengkaji apa arti hukum bagi keberlangsungan status kenegaraan dan akses ke sumber daya utama jika permukaan air laut terus meningkat karena kerusakan iklim.
Penelitian terbaru menunjukkan rata-rata permukaan air laut dapat naik hingga 90 cm pada tahun 2100 jika skenario terburuk menjadi kenyataan, bahkan itu juga bisa melampaui proyeksi.
Hal tersebut bisa menyebabkan hilangnya daratan sehingga mengancam negara-negara kepulauan kecil yang sedang berkembang.
Selain hilangnya daratan, naiknya permukaan air laut menyebabkan banjir, mengancam pasokan air minum, dan membuat lahan pertanian terlalu asin untuk ditanami.
Baca juga: Kenaikan Permukaan Air Laut Bisa Jadi Bencana, meski Target 1,5°C Tercapai
Melansir Guardian, Sabtu (28/6/2025) kendati wilayah sebuah negara tenggelam, para ahli hukum menyimpulkan bahwa tidak ada halangan bagi suatu negara untuk mempertahankan batas-batas maritimnya, meskipun daratan tempat batas-batas itu ditetapkan berubah atau bahkan menghilang.
Batas-batas maritim ini sangat penting karena memberikan negara-negara hak navigasi, akses ke sumber daya seperti ikan dan mineral, serta tingkat kendali politik tertentu di wilayah laut tersebut.
Selain itu dalam laporan juga ada kesepakatan umum bahwa negara-negara yang terdampak misalnya, yang daratannya terancam hilang akibat kenaikan permukaan air laut harus tetap mempertahankan status kenegaraannya. Tujuannya adalah untuk mencegah warganya kehilangan kewarganegaraan.
Kesimpulan-kesimpulan tersebut sangatlah penting untuk menjaga perdamaian dan stabilitas internasional.
Penelope Ridings, seorang pengacara internasional dan anggota ILC, menyatakan mereka tergerak untuk bertindak karena merasa ada ketidakadilan bagi negara-negara kecil.
Mereka rentan akan menanggung beban terberat dari kenaikan permukaan laut, padahal kontribusi mereka terhadap perubahan iklim sangat minim.
Ironisnya, sebagian besar masalah ini disebabkan oleh emisi dari perusahaan-perusahaan besar penghasil bahan bakar fosil dan semen.
Penelitian telah menemukan sepertiga dari kenaikan permukaan laut saat ini dapat ditelusuri ke emisi dari 122 produsen bahan bakar fosil dan semen terbesar.
Salah satu negara kepulauan di Pasifik, Tuvalu, telah secara khusus menyuarakan kekhawatirannya tentang kenaikan permukaan air laut. Permukaan air laut di sembilan pulau dan atolnya telah naik sebanyak 4,8mm dan diperkirakan akan naik jauh lebih tinggi lagi dalam beberapa dekade mendatang.
Baca juga: Laju Kenaikan Permukaan Air Laut Melonjak 2 Kali Lipat
Pada konferensi kelautan, Perdana Menteri Tuvalu, Feleti Teo, menyatakan bahwa warganya bertekad untuk tetap tinggal di tanah mereka selama mungkin.
Pemerintah Tuvalu pun telah mengambil tindakan konkret dengan menyelesaikan fase pertama proyek adaptasi pesisir. Proyek ini meliputi pembangunan penghalang beton untuk mengurangi banjir dan pengerukan pasir untuk menciptakan lahan tambahan.
Sementara itu, Australia adalah negara pertama yang mengakui permanennya batas-batas wilayah Tuvalu meskipun permukaan laut terus naik.
Pada tahun 2023, Australia juga menandatangani perjanjian yang mengikat secara hukum dengan Tuvalu. Perjanjian ini berkomitmen untuk membantu Tuvalu merespons bencana besar.
Australia juga menawarkan visa khusus kepada warga Tuvalu yang ingin atau perlu pindah ke Australia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya