"Fasilitas pendukung juga sangat minim, seperti buku cerita, bahan ajar kontekstual, dan tempat mengajar kurang kondusif," imbuh dia.
Apalagi, ia menambahkan, budaya tutur di masyarakat Papua pada umumnya yang telah turun-temurun menjadi lebih kuat dibanding budaya membaca atau tulis.
Marthen menambahkan, rata-rata siswa kelas 3 SD di Papua baru bisa membaca 31 kata per menit, di mana seharusnya 60-80 kata per menit.
Dari lima area program WVI di Papua, anak-anak di Asmat memiliki keterampilan ‘membaca dengan pemahaman’ terendah, yakni hanya sekitar 11 persen. Di Asmat, rata-rata siswa kelas 3 SD hanya bisa membaca lima kata per menit.
"Sedangkan isu di Wamena lebih kepada kegiatan belajar mengajar di sekolah yang sering ditiadakan karena konflik sosial. Mereka bisa libur sekolah hampir dua minggu saat ada konflik," terangnya.
Oleh karena itu, pihaknya ingin membantu meningkatkan kemampuan literasi anak-anak di Papua, khususnya Asmat dan Wamena. Sebab, pemahaman literasi yang baik adalah pondasi penting dalam pendidikan.
"Pendidikan yang baik dan layak adalah kunci untuk masa depan yang lebih berkualitas bagi anak-anak dan masyarakat Papua," ujar Marthen.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya