Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Eki Baihaki
Dosen

Doktor Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad); Dosen Pascasarjana Universitas Pasundan (Unpas). Ketua Citarum Institute; Pengurus ICMI Orwil Jawa Barat, Perhumas Bandung, ISKI Jabar, dan Aspikom Jabar.

WWF, Hidropolitik, dan Pertobatan Ekologi

Kompas.com - 19/05/2024, 07:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

WORLD Water Forum (WWF) ke-10, dilaksanakan pada 18-24 Mei 2024, di Nusa Dua, Bali. WWF akan dihadiri oleh 172 negara yang mengirimkan delegasi dalam pertemuan internasional terbesar yang membahas permasalah air tingkat global.

WWF ke-10 mengangkat tema “Water for Shared Prosperity", air bagi kesejahteraan bersama. Tema yang sangat relevan dengan kondisi global saat ini.

Ketersediaan air bersih menjadi tantangan besar, termasuk ketersediaan air layak minum per kapita yang mulai menyusut di hampir banyak negara.

Maka tidak berlebihan jika secara struktural kesejahteraan dan perdamain dunia saat ini bergantung pada hidropolitik atau Politik air.

Sejumlah kebijakan politik yang berdampak pada ketersediaan air dan terkelolanya sumber daya air atau bisa jadi sebaliknya jika kebijakan yang diambil keliru.

Pertemuan World Water Forum yang ke-10, diharapkan menyediakan platform penting bagi semua pemangku kepentingan di sektor air dan menghasilkan kebijakan politik air yang signifikan.

Merupakan tonggak besar kontribusi Indonesia terhadap upaya masyarakat global dalam mengelola sumber daya air secara berkelanjutan.

Namun secara kultural, air bagi kesejahteraan bersama sangat tergantung terhadap cara pandang dan perilaku manusia terhadap air dan dukungan multipihak bagi penataan ekosistem terhadap lingkungan yang berdampak pada ketersediaan air.

Pada abad 21, persediaan air bersih mulai berkurang, perubahan iklim telah menaikkan tinggi muka laut yang telah mengubah perbatasan negara, disertai ledakan pertumbuhan penduduk juga semakin membebani sumber daya alam, serta sikap ekspolitatif dan kerakusan manusia memanfaatkan sumber daya alam.

Air merupakan sumber daya yang cukup vital bagi kehidupan manusia. Dalam kehidupannya, manusia tidak dapat terlepas dari keberadaan air yang dibutuhkan bagi berfungsinya metabolisme tubuh dan menjadi energi besar bagi keberlanjutan pembangunan suatu negara.

Krisis air saat ini dilaporkan meruncing di 10 negara Afrika, di mana 190 juta anak-anak kesulitan mengakses air bersih dan fasilitas sanitasi yang memadai.

PBB, melalui UNICEF, bersama dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO), mengingatkan akan situasi darurat di negara-negara Afrika Tengah dan Barat, yakni Benin, Burkina Faso, Kamerun, Chad, Pantai Gading, Guinea, Mali, Niger, Nigeria dan Somalia.

UNICEF melaporkan di kawasan yang banyak dilanda konflik bersenjata dan ketidakstabilan, kesehatan balita termasuk yang paling terdampak.

UNICEF mendorong tercapainya Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (SGD) dalam menjamin akses air bersih bagi semua penduduk Bumi pada 2030.

Krisis air bersih dan sanitasi juga dialami 10 juta penduduk Pakistan, termasuk anak-anak, sebagai dampak bencana banjir pada 2022.

Hingga kini, warga di wilayah yang terdampak belum mendapat suplai air minum yang memadai.

"Air bersih sejatinya bukan kemewahan, melainkan hak asasi manusia,” kata Abdullah Fadil dari UNICEF Pakistan.

Pertobatan Ekologi

Jonathan Stone, Profesor Hukum Amerika menulis risalah pendek dengan judul “should trees have standing”.

Tulisan provokatif ini merupakan bagian dari ikhtiar Stone memproteksi pohon-pohon dari perilaku eksploitatif manusia dengan cara memberi status hak-legal standing.

Dalam pandangan Stone bukan saja manusia yang punya legal standing, tetapi juga makhluk-makhluk selain manusia.

Risalah pendek Stone ini kemudian menjadi diskusi penting dalam studi-studi environmental ethics atau etika lingkungan di dunia, termasuk di Indonesia.

Stone menulis risalah itu pada tahun 1970-an, sebagai bentuk kritik terhadap tindakan dekstruktif dan arogansi manusia terhadap alam.

Stone melihat ada semacam gejala eksploitasi masif terhadap alam. Alam dilihat sebagai properti yang bisa diperlakukan apa saja, termasuk eksploitatif sekalipun.

Gejala yang dilukiskan Stone, merupakan gejala yang juga sedang kita hadapi saat ini. Kita mengalami apa yang disebut sebagai krisis ekologi, krisis lingkungan.

Yang berdampak masalah seperti banjir, polusi udara, perubahan iklim, krisis air minum, punahnya keanekagaraman hayati, dan pemanasan global, merupakan deretan isu yang harus menjadi perbincangan serius.

Sebagian besar umat manusia saat ini, kehilangan kesadaran akan pentingnya alam bagi keberlangsungan hidup manusia.

Bahkan dalam kondisi ekstrem, kita terjebak dalam apa yang disebut sebaga eko-terorisme, perilaku destruktif manusia dalam merusak lingkungan.

Terdapat dosa ekologi manusia yang bersumber dari sikap manusia yang egoistik. Orang tidak pernah berpikir bahwa antara manusia dan alam merupakan satu entitas yang saling membutuhkan.

Dalam banyak kejadian, seringkali manusia menjadi racun bagi makhluk hidup yang lain.

Dari berbagai krisis ekologi yang dihadapi saat ini, kita membutuhkan Metanoia, pertobatan.

Pertobatan yang merujuk pada perubahan radikal dalam diri manusia, baik itu cara hidup, sikap moral, maupun tindakan yang berpangkal pada perwujudan keimanan yang menitikberatkan pada harmoni hidup bersama alam.

Pertobatan ekologis dimaknai sebagai perubahan dalam cara kita memandang, berinteraksi, dan berperilaku dengan alam.

Dengan menciptakan relasi organisme yang baik antara manusia dan alam yang dilakukan dengan sepenuh kesadaran adalah inti dari pertobatan ekologis.

Pertobatan menjadi nyata kalau kita berani memberantas kejahatan ekologis dengan tuntas dari hulu hingga hilir, sebagai perwujudan dari pertobatan ekologis. Dan mengubah cara padang kita terhadap alam secara radikal.

Dari Antroposentik ke paradigma ekosentrik, filosofi hidup yang melihat alam sebagai rumah bersama.

Pertobatan ekologis juga harus mampu menghadirkan toleransi dengan membiarkan alam bertumbuh dan berkembang secara alamiah. Menciptakan hubungan symbiosis mutualisme.

Alam membutuhkan manusia, manusia membutuhkan alam. Kalau kita membunuh kehidupan alam, maka alam pun akan membinasakan kehidupan manusia.

Dalam konteks era modern, pertobatan ekologi menjadi semakin relevan mengingat persoalan yang dihadapi umat manusia kedepan semakin kompleks.

Namun pertobatan juga menuntut adanya perubahan sikap dari seluruh umat manusia yang hidup di bumi.

Pertobatan ekologis juga harus dilandasi nilai etis-religius, dengan menerjemahkan misi “rahmatan lil 'alamin” yang bermakna “kasih sayang bagi semesta alam”.

Tidak hanya mampu menebar kasih sayang terhadap sesama manusia, juga bagi flora, fauna dan seluruh alam semesta. Semoga!

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau