Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jadi Wisatawan Bertanggung Jawab Saat "Healing-healing"

Kompas.com - 05/06/2024, 22:16 WIB
Caroline Damanik,
Amir Sodikin

Tim Redaksi

I see skies of blue
And clouds of white
The bright blessed day
The dark sacred night
And I think to myself
What a wonderful world...

KOMPAS.com - Kita tentu tidak asing lagi dengan single Louis Armstrong yang dirilis pada tahun 1967 ini. Lagu legendaris ini mengingatkan kita bahwa selalu ada harapan dalam hidup. Kita hanya perlu menjaga optimistisme dengan merayakan indahnya alam dan kebaikan hati orang-orang yang ditemui.

Meski lagunya sudah dirilis berpuluh tahun lalu, deskripsi tentang keindahan alam di dalam lagu ini masih bisa kita nikmati sekarang. Kita masih bisa menyaksikan birunya langit dan putihnya awan, jernihnya lautan dengan pantai berpasir putih kemerahmudaan, atau indahnya pelangi selepas hujan.

Baca juga: Dapur Tara Labuan Bajo, Nikmati Kuliner Flores dengan Suasana Alam

Bayangkan suatu saat deskripsi itu tak relevan lagi. Anak dan cucu kita tak yakin lagi bahwa langit itu berwarna biru karena ternyata di masa dewasa mereka langit berwarna putih butek atau abu-abu - which is sudah terjadi di sejumlah kota industri.

Suatu saat, mereka mungkin tak bisa lagi melihat langsung terumbu karang yang pada suatu masa pernah menjadi salah satu kekayaan alam Indonesia yang berlimpah dan kini hanya sekitar 5 persen yang disebut dalam kondisi baik atau juga tak bisa lagi langsung melihat bagaimana penyu hijau berenang saat snorkeling di laut lepas....

Namun sekali lagi, kata Louis Armstrong, mari tetap optimistis karena selalu ada harapan. Dan harapannya ada di tangan kita, saya dan Anda.

Karena ada harapan, diskursus tentang gaya hidup yang pro-lingkungan melalui edukasi dan kampanye pun terus didengungkan, termasuk saat traveling.

Baca juga: Menparekraf Targetkan Labuan Bajo Jadi Pusat Pariwisata Berkelanjutan

Para wisatawan didorong menjaga kebersihan dan keberlangsungan lingkungan di destinasi wisata yang sedang dikunjungi. Karena pada kenyataannya, ironi kerap terjadi.

Para wisatawan datang untuk menikmati keindahan alam tetapi seringkali mereka sendiri yang merusak keindahan alam di tempat yang sama.

Pandawara Group, sekelompok anak muda yang viral karena aksi-aksi nyatanya menjaga kebersihan lingkungan di pantai dan sungai, menangkap keresahan ini.

Gilang, Ichsan, Rifky, Agung, dan Rafly, meski baru berusia di awal 20-an dan belum punya anak apalagi cucu, menyadari bahwa menjaga kebersihan dan keberlangsungan lingkungan sejak usia muda akan berdampak baik jauh ke depan.

Motivasi itu makin kuat saat mereka berulang kali menceburkan diri ke laut dan sungai atau berpeluh di atas sampah yang menutupi pantai - literally tertutup.

"Karena telah melihat langsung kondisi lapangan di negara kita, kami menemui kerusakan dan kami menyadari kesadaran masyarakat masih rendah dan parah," kata Gilang, salah satu anggota Pandawara Group, di sela acara beach clean-up dalam Kampanye "100 Persen Murni, 100 Persen Petualangan Indonesia" bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan Aqua Danone di Pantai Binongko, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Kamis (30/5/2024).

Baca juga: Viral, Unggahan Wisatawan soal Harga Makanan di Kampung Ujung Labuan Bajo, Pemkab Bentuk Satgas

Lanjut Gilang, "Jadi, kami pikir kalau fenomena seperti ini dibiarkan terus menerus, kami khawatir generasi penerus setelah kami tidak bisa menikmati kekayaan maupun keindahan alam yang ada di Indonesia."

Jika kerusakan lingkungan makin parah, lanjutnya, masyarakat, termasuk kita sendiri, yang mengalami kerugian.

Pandawara Group di Pantai Binongko, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Kamis (30/5/2024), ketika hendak memulai kegiatan bersih-bersih pantai atau beach clean-up bersama komunitas lokal dalam rangkaian kampanye 100 Persen Murni, 100 Persen Petualangan Indonesia Aqua Danone Indonesia dan Kemenparekraf.KOMPAS.com/Caroline Damanik Pandawara Group di Pantai Binongko, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Kamis (30/5/2024), ketika hendak memulai kegiatan bersih-bersih pantai atau beach clean-up bersama komunitas lokal dalam rangkaian kampanye 100 Persen Murni, 100 Persen Petualangan Indonesia Aqua Danone Indonesia dan Kemenparekraf.

Gilang memberi tips, jika bingung harus memulai, ada aksi sederhana yang bisa dilakukan oleh para turis ketika berwisata, misalnya ke pantai atau laut. Paling tidak, berwisata pro-lingkungan bisa dimulai dari dua aksi berikut ini:

1. Buang sampah pada tempatnya, jangan nakal

Gilang mengatakan, bijaklah terhadap sampah yang dibawa. Dia mencontohkan, misalnya bungkus makanan atau minuman camilan yang kita konsumsi bisa dikantongi atau disimpan di dalam tas terlebih dahulu kalau tidak menemukan tempat sampah.

"Apalagi kalau sampahnya kecil-kecil atau rokok. Misalnya kita merokok, jangan sampai buang sampah sembarangan, bahkan enggak terlihat sama orang," ungkap Gilang.

Tingkatan berikutnya adalah memungut sampah yang terlihat dan membuangnya di tong sampah yang tersedia.

2. Jangan ganggu biota laut, jangan nakal

"Ke mana pun berkunjung, terutama visit ke pantai, jangan pernah mengganggu biota laut atau hewan-hewan di pantai. Karena masih ada wisatawan yang jail ambilin ikan di terumbu karang. Jadi kalau snorkeling, kita cukup menikmati. Intinya, kita jangan pernah mengganggu ekosistem yg ada di tempat yang kita kunjungi," tuturnya.

Seringkali, antusiasme yang tinggi atau rasa kagum terhadap keindahan alam di destinasi wisata membuat kita ingin memilikinya.

Terumbu karang yang cantik, ikan badut seperti di Finding Nemo, si imut penyu hijau atau si cantik edelweiss kerap menggoda sejumlah orang untuk membawanya pulang. Padahal hewan dan tumbuhan endemik itu bisa habis atau punah.

"Intinya, kita jangan jadi turis yang nakal," tegas Gilang.

Dimulai dari kesadaran

Kemampuan untuk menjadi wisatawan yang bertanggung jawab atau tidak nakal berawal dari kesadaran penuh atau mindfulness.

Presenter sekaligus pegiat lingkungan Najwa Shihab mengatakan, pekerjaan rumah sekarang adalah mengedukasi setiap wisatawan untuk menerapkan prinsip conscious tourism atau wisata dengan kesadaran penuh soal tanggung jawabnya terhadap manusia, baik diri sendiri maupun orang lain, serta alam sekitar.

"Kita perlu mencari keseimbangan, menikmati wisata tetapi juga memastikan bahwa yang kita nikmati itu bukan hanya bisa dinikmati hari ini tetapi anak cucu kita bisa menikmati hal yang sama. Bagaimana kita menjadi penjaga bumi dan juga wisatawan yang conscious pada saat kita berkunjung ke suatu destinasi," kata Najwa.

Menurut Najwa, pola pikir berkesadaran ini harus terus ditumbuhkan sampai ke tingkat setiap wisatawan mampu melakukan sesuatu tindakan pro-lingkungan yang riil, tidak sekadar tahu dan mau.

Dia menambahkan, potensi terbesar ada di para generasi muda, khususnya Gen Z.

"Mereka punya kemampuan memengaruhi orang banyak lewat beragam aktivitas yang dilakukan dan yang paling merasa bertanggung jawab yang harusnya bisa hidup lebih panjang daripada kita yang sudah tua-tua. Yang akan memastikan apakah anak cucunya bisa menikmati hal yang sama nanti," ujarnya.

Kemampuan yang didasari pada conscious tourism itu bisa diwujudkan dalam praktik-praktik nyata mulai dari mengurangi jejak emisi karbon, memilih naik sepeda di destinasi wisata, memilih restoran yang memiliki chain supply lokal, memilih produk ramah lingkungan yang bisa diolah, mau menyimpan sampahnya sendiri kalau belum menemukan tempat sampah sampai mau belajar memilih dan memilah sampah.

"Anak-anak muda yang memiliki kemampuan itu. Apapun motivasi awalnya yang penting mau dan mampu melakukan," tutur Najwa.

Senada, VP General Secretary Danone Indonesia, Vera Galuh Sugijanto, mengatakan, pihak swasta juga menyadari pentingnya pariwisata dengan kesadaran penuh. Hal ini yang mendorong Aqua-Danone ikut terlibat, misalnya dengan tetap memikirkan cara menjaga lingkungan pasca-konsumsi produk kemasan di destinasi wisata.

Oleh karena itu, pihaknya juga mengembangkan kampanye dan edukasi pengelolaan sampah kepada publik, infrastruktur pengumpulan dan pengelolaan sampah, serta inovasi kemasan. Dengan demikian, ketika audiensnya datang ke destinasi wisata tertentu, mereka tidak meninggalkan jejak sampah, emisi atau dampak buruk bagi alam.

"Jadi (wisata berkesadaran) tidak hanya positif untuk diri kita sendiri, tapi juga positif untuk daerah wisata yang kita kunjungi, baik secara sosial, ekonomi maupun lingkungannya," tuturnya.

Menparekraf Sandiaga Uno dan VP General Secretary Danone Indonesia, Vera Galuh Sugijanto, berbicara tentang kolaborasi pemerintah dan swasta dalam mengakselerasi pariwisata hijau dan pariwisata regeneratif selanjutnya di Indonesia di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Rabu (29/5/2024). Menparekraf Sandiaga Uno dan VP General Secretary Danone Indonesia, Vera Galuh Sugijanto, berbicara tentang kolaborasi pemerintah dan swasta dalam mengakselerasi pariwisata hijau dan pariwisata regeneratif selanjutnya di Indonesia di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Rabu (29/5/2024).

Tak bisa sendiri, harus bersama-sama

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan, Indonesia berhasil menempati peringkat ke-22 dunia menurut Travel and Tourism Development Index yang dirilis The World Economic Forum pada Mei 2024.

Oleh karena itu, pariwisata berada di next level dengan tidak lagi hanya cukup berorientasi pada pariwisata hijau atau green tourism. Indonesia, lanjut dia, harus melibatkan semua pihak untuk memberikan dampak terbaik pada setiap destinasi wisata yang dikunjungi.

Baca juga: Pengembangan Kawasan Parapuar di Labuan Bajo Terus Diperkuat Penguatan Konten Budaya Manggarai

"Pariwisata hijau is not enough. We need to shift into regenerative tourism. Jadi kita bukan hanya melakukan nett zero di salah satu destinasi wisata, tapi kita justru memberikan dampak positif," kata Sandiaga saat membuka acara Kampanye "100 Persen Murni, 100 Persen Petualangan Indonesia", Rabu (29/5/2024).

Jadi, jika kita datang ke Labuan Bajo, kita bisa hitung jejak emisi karbon, berapa kilogram CO2 yang kita emisikan dan kita bisa konversi itu melalui berbagai kegiatan.

Saat regenerative tourism diterapkan, tujuan pariwisata yang dirancang bukan hanya keberlangsungannya, tetapi bagaimana akhirnya para wisatawan bisa memberikan kontribusi positif kepada regenerasi ekosistem, ekonomi dan budaya lokal setempat ketika datang ke sebuah destinasi wisata.

Contohnya, ketika wisatawan datang ke Labuan Bajo, dia diharapkan bisa mengurangi sampah yang digunakan, tidak membuang sampah sembarangan dan bisa memilah sampah, memilih makanan atau minuman khas lokal, makan sesuai porsinya dan tidak meninggalkan sisa, menghemat air saat mandi dan mematikan keran saat sikat gigi sampai ikut merestorasi terumbu karang, menanam mangrove atau menanam pohon di sejumlah desa wisata.

Tentu saja, pemerintah dan pihak pelaku bisnis pariwisata juga harus mendukungnya.

"Ini tentunya perlu kolaborasi kita bersama," ungkapnya.

Vera menambahkan, Aqua-Danone menangkap pentingnya kolaborasi ini, khususnya terkait persoalan sampah, dengan mengembangkan dan mendampingi enam unit bisnis daur ulang (RBU) dan 10 collection center, di antaranya di Likupang, Danau Toba, Mandalika, Candi Borobudur, dan Labuan Bajo.

Selain itu juga melakukan pendampingan kepada 26 Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R) dan lebih dari 60 unit bank sampah. Termasuk menggelar kampanye yang akan mengajak sejumlah konsumennya keliling destinasi super-prioritas sambil terlibat aksi nyata menjaga lingkungan.

"Harapannya, kita bisa jaga sama-sama lingkungan dan ekosistem. Semuanya punya tanggung jawab dan andil untuk menjaga kebersihan lingkungan, terutama sampah," tuturnya.

Dan..., semua berawal dari harapan. Harapannya, anak saya yang masih balita, anak-anak Anda, anak dan cucu kita yang lahir beberapa tahun ke depan bisa tetap menikmati indahnya langit biru dan awan putih, melegakannya udara segar dan air laut yang jernih. 

Ditambah lagi, menggemaskannya terumbu karang yang meliuk indah atau si penyu hijau yang pemalu di Labuan Bajo, seperti yang bikin saya dan rekan-rekan terkagum-kagum pekan lalu sampai susah move on, masih ter-bajo-bajo sampai saat ini.

Kita berharap, lirik lagu Louis Armstrong di awal pembuka artikel ini masih tetap akan relevan pada hari ini, esok, dan di masa mendatang. 

What a wonderful world....

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com