KOMPAS.com – Selain mengganggu keindahan dan kebersihan, timbulan sampah kronis di berbagai provinsi serta kabupaten dan kota juga memicu bencana alam, mulai dari longsoran sampah, pencemaran lindi, pencemaran udara, bau busuk, hingga ledakan gas metan.
Kondisi itu terjadi di Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 2005, yang menimbulkan 157 korban jiwa. Kemudian, pada 2023, sebanyak 33 tempat pembuangan akhir (TPA) di berbagai kota dan kabupaten juga mengalami kebakaran.
Mengurangi timbulan sampah dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti merencanakan proses industrialisasi produk dengan material yang berpotensi menjadi sampah serta mengembangkan pola konsumsi secara menyeluruh. Hal ini perlu dilakukan secara global dan holistik dalam lingkup makro untuk kemudian diturunkan menjadi berbagai kegiatan teknis pada tingkat mikro.
Ahli pengelolaan kualitas udara yang juga aktivis di Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Esrom Hamonangan mengatakan bahwa berbagai upaya untuk mengurangi timbulan sampah harus dilakukan.
“Upaya itu diharapkan dapat menekan dampak lingkungan hidup, baik limbah padat, cair, maupun gas, terutama penyebab pencemaran udara dan krisis iklim,” ujar Esrom dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (14/6/2024).
Baca juga: Cegah Sampah Plastik di Laut, NGO Plastic Bank Jalin Kemitraan dengan Ratusan Pengepul
Menurut Founder Net Zero Waste Management Consortium (NZWMC) Ahmad Safrudin, perusahaan manufaktur, retail, serta hotel, restoran, dan katering (horeka) dimandatkan menyusun peta jalan pengurangan sampah sesuai Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 75 Tahun 2019.
“Sebagian provinsi serta kabupaten dan kota juga belum menyusun rencana aksi penanganan sampah yang selaras dengan aksi pengurangan sampah,” tegasnya.
Menanggapi hal itu, Ketua Harian NZWMC Amalia S Bendang mencontohkan Sungai Ciliwung sebagai sungai yang menjadi “bejana” sampah.
“Timbulan sampah di badan Sungai CIliwung menjadi cermin pengelolaan sampah. Produsen, retail, dan horeka belum menjalankan upaya pengurangan sampah sesuai amanat regulasi sungguh-sungguh,” tambah Amalia.
Sebagai informasi, dari total 32.364 sampah yang berhasil dipilah dari 6 titik sampling Sungai Ciliwung, terdapat 10 jenis sampah. Sebanyak 7 di antaranya merupakan material polimer, termasuk kain, karet, kayu, kertas, logam, plastik, dan gabus.
Sampah plastik paling banyak ditemukan secara konsisten di berbagai titik dalam bentuk kantong kresek, baik secara utuh maupun serpihan, dengan total 19.466 buah atau sekitar 67,88 persen dari keseluruhan sampah yang berhasil dikumpulkan dan dipilah.
Selain sampah plastik, ditemukan pula 3.974 sampah bungkus (13 persen) dan 3.324 saset plastik (11 persen).
Baca juga: 7 Fakta Sampah Plastik, Problem Lingkungan Terbesar Manusia
Amalia juga menjabarkan hasil riset NZWMC yang dilakukan di 6 kota, yakni Medan, Jakarta, Samarinda, Makassar, Denpasar, dan Surabaya, selama 2022 dan 2023.
Riset itu menunjukkan, serpihan plastik berbagai merek menempati urutan pertama (59.300 buah) dan disusul oleh plastik kresek.
Menanggapi hal itu, aktivis Ahmad Safrudin mengatakan bahwa pemerintah pusat mempunyai peran strategis.
“Pemerintah pusat berwenang dalam memberikan izin proses produksi industri dengan kemasan yang berpotensi menjadi limbah. Untuk itu, diperlukan pentaatan hukum secara ketat (strict liability),” ucapnya.
Penanganan sampah dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah produksi dan pemanfaatan plastik netral karbon atau lifecycle carbon neutral (LCCN). Upaya ini merupakan metode pengolahan sampah dengan emisi polusi udara, gas rumah kaca (GRK), dan limbah berbahaya yang rendah.
Penggunaan teknologi LCCN Ready (waste to steam) di sejumlah negara, seperti Jepang, Eropa, dan Korea Selatan telah memberikan dampak lingkungan dan ekonomi yang signifikan.
Dengan metode LCCN, limbah domestik dan industri dikumpulkan, serta diangkut ke lokasi site LCCN di industri kompleks. Dengan demikian, carbon capture and utilization (CCU) semakin mudah diterapkan.
Lewat LCCN, semua jenis sampah diolah melalui proses panas tinggi sehingga menghasilkan uap (steam) atau listrik.
Kemudian, berbagai senyawa kimia dan residu, termasuk karbon dioksida (CO2), akan diproses lebih lanjut guna diinjeksikan kembali ke dalam steam. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas produksi melalui konservasi energi.
Baca juga: Kurangi Sampah Plastik, Indonesia Dapat Pinjaman dari ADB Hampir Rp 8 Triliun,
Proses LCCN berbeda dari proses produksi RDF dan ITF yang masih menghasilkan residu padat, cair, dan gas termasuk CO2 yang akan menyebabkan pencemaran air dan udara yang mengancam lingkungan.
Dalam diskusi bertajuk “Toward Carbon Neutral Plastic Production and Utilization, The Most Efficiency Urban Waste to Energy” yang digelar di Jakarta, Jumat, Direktur Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar mengatakan bahwa pengolahan sampah berbasis LCCN dapat menjadi solusi pada less landfill policy.
“Less landfill policy telah menjadi andalan waste management di lingkungan KLHK demi menekan 40 juta ton sampah pada 2030,” ucap dia.
Menurutnya, krisis iklim, kepunahan keanekaragaman hayati, dan pencemaran lingkungan bisa ditanggulangi dengan waste management melalui skenario pengurangan sampah pada tataran pencegahan dan skenario pengolahan sampah pada tataran penanganannya.
“Semoga teknologi tersebut dapat menjadi terobosan sehingga pemanfaatan plastik sehingga tidak lagi menjadi beban lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi,” tegas Novrizal.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya