KRISIS iklim telah menyebabkan bencana ekologi di seluruh penjuru dunia. Laporan IPCC (2022), mengungkapkan dampak buruk krisis iklim telah membahayakan bumi dan seluruh isinya.
Menurut WMO dan UNDRR (2021), perubahan iklim telah memicu cuaca ekstrem di berbagai wilayah di dunia. Akibatnya, terjadi lonjakan frekuensi terjadinya bencana iklim selama 50 tahun terakhir.
Asia adalah salah satu kawasan yang terkena dampak buruk krisis iklim. Sementara menurut data dari Emergency Events Database, pada tahun 2023, di kawasan Asia telah terjadi 79 bencana iklim.
Bencana iklim itu, mayoritas (80 persen) berupa banjir dan badai. Bencana iklim di Asia itu telah menyebabkan lebih dari 2.000 korban jiwa.
Berbagai bencana iklim yang terjadi di Asia itu juga dirasakan Indonesia. Laporan dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mengungkapkan bahwa bencana yang terjadi pada tahun 2023 didominasi oleh kejadian hidrometeorologi akibat krisis iklim dengan 5.365 kejadian.
Ini artinya, bencana yang terjadi di Indonesia selama 2023 didominasi bencana yang diakibatkan krisis iklim.
Pembakaran batu bara menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan krisis iklim. Tak heran muncul kesadaran masyarakat dunia untuk meninggalkan energi kotor berbasis fosil seperti batu bara.
Kesadaran masyarakat dunia juga membuat bank-bank internasional mulai enggan mendanai batu bara.
Pada 2022, Standard Chartered, salah satu bank terbesar di Inggris telah menghentikan dukungan pendanaan ke perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia, PT Adaro Energy Tbk (ADRO).
Bank asal Singapura, DBS juga berkomitmen untuk mengurangi eksposur batu-bara sampai dengan nol pada 2039. Krisis iklim telah membuat bank-bank tersebut menyadari bahwa batu bara sebagai industri yang akan hilang di masa depan (sunset).
Di saat kesadaran publik terkait daya rusak batu bara mulai menguat, pemerintahan rezim Joko Widodo (Jokowi) justru menawarkan konsesi tambang batu bara ke Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Mengapa pemerintah justru menawarkan bisnis yang akan hilang di masa depan?
Namun segelintir elite ekonomi-politik ingin Indonesia tetap tergantung dengan batu bara, tak peduli operasional tambang dan pembakarannya membuat kerusakan di muka bumi.
Elite ekonomi-politik yang memberhalakan energi fosil itu jumlahnya memang sedikit, tapi memiliki kekuasaan besar. Mereka ini sering disebut kelompok oligarki.
Menurut Profesor Northwestern University Jeffrey A Winters, oligarki dibagi menjadi dua dimensi.
Dimensi pertama adalah oligarki memiliki kekuasaan besar secara sistematik walaupun memiliki status minoritas di dalam komunitas.
Dimensi kedua oligarki punya dasar kekuasaan dan kekayaan material yang sangat sulit untuk diseimbangkan dan dipecah.
Kedua dimensi oligarki menurut Jeffrey A Winters itu ada pada pendukung energi fosil, termasuk batu bara, di Indonesia.
Para oligarki batu bara tentu tidak ingin bisnis energi kotornya berakhir terlalu cepat, meskipun cepat atau lambat akan hilang.
Oligarki batu bara ingin PBNU dan ormas keagamaan lainnya bisa melawan takdir hilangnya bisnis batu bara di masa depan ini.
Berbagai narasi sudah mereka coba keluarkan, termasuk narasi nasionalisme kanan. Namun, itu tidak cukup efektif menghentikan laju perlawanan publik terhadap energi kotor batu bara ini.
Sulit untuk tidak menduga, kali ini oligarki batu bara akan menggunakan narasi agama untuk membela industri kotor batu bara ini. Apalagi warga Indonesia terkenal sebagai orang-orang religius.
Munculnya Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 pada akhir Mei lalu yang merevisi PP Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, harus dibaca dalam konteks menarik PBNU dalam pelukan oligarki batu bara.
Mereka ingin PBNU berada dalam satu barisan dengan oligarki, bukan dengan rakyat yang menyuarakan kelestarian dan keadilan lingkungan hidup.
Bagi kaum oligarki, akan berbahaya bila NU, sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia berada dalam satu barisan dengan mayoritas rakyat yang menginginkan kelestarian dan keadilan lingkungan.
Gejala bahwa NU akan berada di barisan mayoritas rakyat itu sudah pernah muncul di tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2015, PBNU pernah memfasilitasi para kiai untuk menyikapi eksploitasi sumber daya alam yang merusak alam oleh negara maupun swasta.
Hasilnya, PBNU mengharamkan eksploitasi sumber daya alam yang merusak. Batu bara jelas masuk dalam kategori ekploitasi sumber daya alam yang merusak itu.
Daya rusak batu bara bukan hanya terjadi saat dilakukan pembakaran yang menyebabkan emisi GRK. Sejak dalam proses penambangan, batu bara telah memiliki daya rusak yang mematikan.
Hal itu disebabkan tambang batu bara memiliki karakteristik mengubah bentang alam. Akibatnya, tambang batu bara akan menyebabkan penurunan kesuburan tanah, kualitas air, kualitas udara, terjadinya ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan pencemaran lingkungan lainnya di sekitar area tambang.
Daya rusak tambang batu bara tidak hanya berhenti sampai di situ. Pascaoperasi, tambang ini menyisakan lubang.
Di Kalimantan Timur, menurut data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur di tahun 2021 terdapat sebanyak 1.735 lubang bekas tambang. Lubang tambang itu telah menelan puluhan korban jiwa yang didominasi anak-anak.
Bagi kaum oligarki batu bara, keberpihakan NU terhadap rakyat yang ingin kelestarian dan keadilan lingkungan harus dihentikan. Para oligarki batu bara tentu tidak ingin PBNU dekat atau satu barisan dengan masyarakat yang mulai menyadari arti penting kelestarian lingkungan hidup.
Jika ada elite politik di negeri ini yang mengatakan tujuan pemberian konsesi ijin tambang batu bara itu adalah mensejahterakan rakyat dan nasionalisme, maka dapat dipastikan mereka sedang berbohong.
Jika alasannya adalah kesejahteraan umat, kenapa pemerintah tidak memfasilitasi PBNU mengelola energi terbarukan di seluruh masjid dan pesanterennya?
Hasil penelitian Celios dan 350.org Indonesia yang berjudul "Dampak Ekonomi dan Peluang Pembiayaan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas" menunjukkan bahwa energi terbarukan berbasis komunitas mampu menciptakan kontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar Rp 10.529 triliun selama 25 tahun.
Penelitian itu juga mengungkapkan bahwa energi terbarukan berbasis komunitas juga mampu menurunkan angka kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang.
Bukan hanya itu, dari sisi ketenagakerjaan, energi terbarukan berbasis komunitas juga membuka peluang kerja sebesar 96 juta orang.
Sekarang bola panas ada di elite PBNU. Apakah mereka akan mendengarkan suara rakyat, yang ingin kelestarian dan keadilan lingkungan hidup atau justru lebih mendengarkan bisik-bisik oligarki, yang ingin menyeret ormas Islam terbesar di Indonesia itu, menjadi bagian dari pihak-pihak yang membuat kerusakan di muka bumi?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya