JAKARTA, KOMPAS.com - Greenpeace Indonesia mendesak pemerintahan baru periode 2025-2029 untuk mengevaluasi kebijakan ekonomi ekstraktif, khususnya industri tambang, dan beralih ke ekonomi hijau.
Sebab, industri pertambangan yang digadang sebagai salah satu pilar ekonomi Indonesia, ternyata belum mampu menciptakan efek positif terhadap kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dan merata.
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan, sejak pemerintahan Orde Baru hingga saat ini, pertambangan disebut menjanjikan, karena salah satunya dapat menumbuhkan lapangan pekerjaan.
Baca juga: 5 Tim Siap Adu Gagasan Pertambangan Berkelanjutan Kompetisi OlympiAR
"Padahal kalau kita bedah, sebenarnya sumbangan (industri pertambangan) kepada lapangan kerja Indonesia tidak terlalu besar. Ada juga cost-nya, bahwa ada degradasi lingkungan, konflik sosial, dan penurunan kualitas hidup di banyak tempat," ujar Leo.
Hal itu disampaikan dalam Diskusi dan Peluncuran Riset "Industri Pertambangan vs Nasib Ekonomi Hijau Pemerintahan Prabowo-Gibran” di Jakarta, Rabu (26/6/2024).
Ia menyebut, masih ada 7,2 juta orang tercatat sebagai pengangguran per Februari 2024.
Meski angka pengangguran terbuka menurun lebih dari 600.000 orang dari tahun sebelumnya, sekitar 60 persen jumlah pekerja saat ini bekerja di sektor informal.
Hal itu menandakan sektor industri pertambangan, belum mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup bagi masyarakat.
Dalam riset terbaru Greenpeace Indonesia bersama Center of Economics and Law Studies (Celios) berjudul Kesejahteraan Semu di Sektor Ekstraktif yang dirilis Rabu (26/6/2024), fakta dan data dari industri pertambangan dikaji.
Riset tersebut menemukan bahwa desa-desa yang menjadikan pertambangan sebagai sektor utama perekonomiannya, kerap menghadapi tantangan untuk mengakses kesejahteraan.
Seperti memiliki pendidikan lebih rendah, kesulitan air bersih dan akses ke layanan kesehatan, rentan terhadap bencana alam, hingga mengalami hambatan pengembangan usaha kecil dan mikro.
Baca juga: Segitiga Litium, Obral Izin Pertambangan, dan Kehidupan Warga Adat
Hal ini semakin memperkuat bukti bahwa sektor industri ekstraktif, utamanya pertambangan, membawa dampak sosial dan lingkungan yang tak bisa diabaikan.
Secara umum, grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia memang meningkat di atas 5 persen. Namun, ketimpangannya masih tinggi.
Adapun faktor lingkungan seperti pencemaran udara dan laut di Indonesia, masih menempati posisi teratas dunia dalam beberapa waktu terakhir.
Hal itu, berdampak pada pemanasan global, hingga berbagai bencana seperti banjir, longsor, cuaca tak menentu, dan kekeringan ekstrem. Situasi tersebut membuat adanya urgensi kajian dan evaluasi terhadap kebijakan ekonomi saat ini.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya