Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Cahyadi
Indonesia Team Lead Interim 350.org

Saat ini menjadi Indonesia Team Lead Interim 350.org. Lembaga 350.org sendiri adalah organisasi non-pemerintah internasional yang fokus mendorong transisi energi 100% energi terbarukan. Saat ini Firdaus Cahyadi juga sedang menempuh pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup di IPB, Bogor

IUP Batu Bara untuk Ormas Keagamaan dan Pergeseran Wacana Nasionalisme

Kompas.com - 12/07/2024, 13:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEIRING dengan respons positif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terkait kebijakan pemerintah memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara untuk ormas keagamaan, kritik terhadap organisasi Islam terbesar di Indonesia itu bermunculan.

Salah satu kritik itu berupa petisi di change.org berjudul, 'Ketua PBNU: Kelola Energi Terbarukan Bukan Tambang Batubara'. Petisi diluncurkan bertepatan dengan hari lingkungan hidup se-dunia, 5 Juni 2024.

Hal yang sama juga terjadi di Muhammadiyah. Sebagian elite di Muhammadiyah juga mulai menunjukan sinyal tergiur dengan tawaran pemerintah mengelola industri kotor batu bara. Sinyal buruk itu kemudian mendapat perlawanan dari kaum muda Muhammadiyah.

Salah satu perlawanan kaum muda Muhammadiyah juga diekspresikan melalui petisi. Petisi itu berjudul, ‘Anak Muda Muhammadiyah Menolak Persyarikatan Terlibat Tambang!’.

Dibandingkan Muhammadiyah, elite PBNU yang terlebih dahulu menerima tawaran pemerintah terkait tambang, pun mendapatkan kritik yang bertubi-tubi dari masyarakat. Kritik yang paling keras untuk NU di media sosial adalah dengan cara mengubah lambang NU.

Akun di media sosial itu mengubah bumi di lambang NU menjadi alat berat untuk menambang. Bukan hanya itu, akun itu juga mengubah NU menjadi UN (Ulama Nambang). Warna hijau dalam lambang NU pun diganti dengan warna merah.

Perubahan lambang ini membuat geram sebagian orang. Kegeraman itu kemudian memicu seseorang melapor ke pihak kepolisian.

Pelapor berdalih bahwa laporannya ke polisi merupakan bentuk kepedulianya sebagai warga NU, sekaligus santri KH Sholahuddin Azmi, yang merupakan cucu pencipta lambang NU, KH Ridwan Abdullah.

Namun beberapa media juga mengungkapkan bahwa pelapor tersebut juga seorang calon legislatif (caleg) dari partai pendukung Jokowi.

Ada yang pro dan kontra terhadap pelaporan ke polisi atas kritik terhadap NU dengan cara mengubah lambang itu. Namun, bila kita telisik secara lebih mendalam, pelaporan ke pihak kepolisian atas kritik terhadap NU itu menandai bergesernya wacana.

Sebelumnya wacana yang mengemuka dalam persoalan tambang untuk NU adalah wacana lingkungan hidup dan politik balas budi pasca-Pilpres 2024.

Namun, dengan adanya pelaporan itu, wacananya bergeser ke wacana agama, membela lambang NU. Apakah ini kebetulan?

Untuk menjawabnya, kita perlu meminjam kacamata Michel Foucault. Pemikir dan cendekiawan Perancis pada abad ke-20 itu mengungkapkan bahwa wacana atau diskursus memiliki relasi dengan kekuasaan dan pengetahuan.

Ia juga mengungkapkan bahwa politik kepentingan dapat dibangun melalui diskursus. Politik kepentingan yang ada dalam diskursus juga akan berpengaruh pada menyempit atau meluasnya ruang demokrasi.

Dengan meminjam kacamata Michel Foucault, kita dapat melihat secara jernih bahwa pegerseran wacana dari lingkungan hidup dan politik ke agama dalam persoalan tambang untuk NU bukan kebetulan. Pergeseran wacana itu sudah didesain dari awal.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau