JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tengah mengadopsi teknologi pendeteksi gempa yang digunakan Jepang. Alat ini diupayakan bisa diimplementasi dalam 2-3 tahun mendatang.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami (IGT) BMKG Wijayanto menjelaskan, Jepang memiliki sistem Earthquake Early Warning (EEW). Sistem Earthquake Early Warning (EEW) dapat menginformasikan terjadinya gempa bumi kurang dari 20 detik.
"Earthquake Early Warning (EEW) secepat mungkin menginformasikan ke masyarakat shaking-nya, dampak goncangannya. Jadi di Jepang itu sudah bisa menginfokan kurang dari 20 detik, antara 10-20 detik, langsung diinfokan," ujar Wijayanto saat jumpa media di kantor BMKG, Jakarta, Kamis (11/7/2024).
Baca juga: Perlu Lembaga Khusus Tangani Bangunan untuk Antisipasi Gempa dan Longsor
Menurutnya, BMKG saat ini tengah mengembangkan teknologi tersebut. Namun, perlu serangkaian proses sebelum benar-benar menggunakan sistem tersebut.
"Kita dari Indonesia sedang mengembangkan sistem itu, kami banyak mengadopsi dari Jepang (dan) dari Taiwan juga sudah sangat maju. Mudah-mudahan akan segera terealisasi, kami sedang berproses sekarang. Kami sedang dalam pengembangan, mudah-mudahan dalam 2-3 tahun ini bisa," paparnya.
Dia pun meluruskan informasi yang beredar, bahwa teknologi secanggih apapun belum ada yang dapat memprediksi kapan terjadinya gempa bumi.
Menurutnya, belum ada teknologi yang dapat memperkirakan gempa hingga susunan satuan atau orde hari dan jam, termasuk Jepang.
"Belum ada teknologi untuk memprediksi gempa. Kalau dalam setahun, akan ada gempa 6 di sini, bisa kita prediksi, atau dalam waktu bulan, kita bisa. Tapi sampai orde hari bahkan jam, sampai saat ini belum ada. Jepang pun belum bisa," terang Wijayanto.
Adapun sistem EEW bekerja dengan menginformasikan kejadian gempa lebih cepat, yakni kurang dari 20 detik, sehingga mitigasinya bisa lebih maksimal.
Sehingga, EEW diakui sangat berguna untuk dapat menyelamatkan area yang lebih jauh dengan cara lebih cepat.
Baca juga: Inovasi Teknologi Anti-Gempa Jalan Tol Trans-Sumatera
"Contoh men-shutdown (mematikan) sistem kereta cepat, menginfokan ke daerah-daerah fasilitas yang kritis misal daerah industri, reaktor nuklir, itu akan cepat. Jadi tidak menunggu info dari parameter gempanya," papar Wijayanto.
Indonesia juga telah melakukan peningkatan dalam hal waktu deteksi gempa. Dulu, informasi gempa atau peringatan bencana disebarkan dalam waktu 5 menit, kini bisa dipangkas menjadi 2-3 menit.
Untuk terus meningkatkan peringatan bencana seperti gempa bumi, Wijayanto menyebut pihaknya tengah mengadopsi sistem yang dimiliki Jepang dan Taiwan.
"Tahun ini sudah, kami sedang proses tes, hasilnya juga lumayan bagus," ujarnya.
Kendati demikian, masih terdapat kendala yakni jumlah sensor yang terbatas. Jika Jepang memiliki 3.000 lebih sensor di negaranya, Indonesia baru memiliki 500 sensor, padahal memiliki wilayah yang jauh lebih luas.
Sensor-sensor tersebut dapat mendeteksi parameter gempa, termasuk posisi, kedalaman, waktu, hingga menit. Oleh karena itu, sensor berperan penting terkait sistem informasi peringatan bencana.
"Kendala di kita itu jumlah sensor kita masih terbatas, hanya 500 titik. Makanya perlu kita kolaborasi dengan universitas dan pemerintah daerah," pungkas Wijayanto.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya