Bukan hanya itu, penggunaan wacana agama dalam merespons persoalan tambang untuk NU juga akan menjadi pijakan membungkam pihak-pihak yang memiliki pendapat berbeda.
Penyempitan ruang demokrasi akan menggunakan pijakan pasal-pasal karet tentang penistaan terhadap simbol-simbol keagamaan dan sebagainya.
Menyempitnya ruang demokrasi dalam merespons IUP untuk ormas agama yang disebabkan bergesernya wacana ekologi ke agama ini tentu akan menguntungkan pihak-pihak pendukung tambang batu bara.
Pertanyaannya, apakah publik akan diam melihat wacana agama digunakan untuk membela kepentingan elite ekonomi politik para pendukung batu bara?
Cepat atau lambat publik akan bersuara atas penggunaan wacana agama untuk menyelamatkan kepentingan tambang batu bara ini.
Kesadaran kolektif atas lingkungan hidup tidak bisa dibendung lagi. Kesadaran kolektif itu akan muncul pula di Indonesia.
Pilihannya ada di elite PBNU dan Muhammadiyah, apakah akan terus terjebak pada permainan elite ekonomi-politik batu bara atau mendengarkan suara dari akar rumput yang digerakan kesadaran kolektif atas lingkungan hidup?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya