Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Cahyadi
Indonesia Team Lead Interim 350.org

Saat ini menjadi Indonesia Team Lead Interim 350.org. Lembaga 350.org sendiri adalah organisasi non-pemerintah internasional yang fokus mendorong transisi energi 100% energi terbarukan. Saat ini Firdaus Cahyadi juga sedang menempuh pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup di IPB, Bogor

IUP Batu Bara untuk Ormas Keagamaan dan Pergeseran Wacana Nasionalisme

Kompas.com - 12/07/2024, 13:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pergeseran wacana itu akan semakin mulus bila elite Muhammadiyah juga mengikuti jejak NU untuk ikut masuk dalam kubangan industri kotor batu bara.

Selama ini wacana yang digunakan pemerintah untuk membela industri kotor batu bara adalah narasi nasionalisme. Kritik terhadap daya rusak tambang batu bara selalu ditangkis dengan isu kedaulatan ekonomi dan politik.

Namun, nampaknya itu tidak akan efektif, karena korban dari tambang batu bara juga masyarakat lokal sendiri.

Singkatnya, batu bara tidak hanya menyebabkan krisis iklim, tetapi juga kerusakan alam di tingkat lokal. Krisis air, udara dan pencemaran lainnya sulit dipisahkan dari operasional tambang batu bara. Terkakit itulah wacana nasionalisme harus diubah.

Wacana agama adalah pilihan untuk mengganti wacana nasionalisme dalam rangka mencuci dosa ekologi batu bara. Terlebih masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius.

Dalam konteks inilah tawaran pemerintah kepada ormas agama untuk mengelola tambang menemukan relevansinya.

Argumentasi pemerintah bahwa tawaran kepada ormas agama untuk mengelola tambang untuk meningkatkan kesejahteraan umat adalah kamuflase untuk mengaburkan motif ekonomi-politik untuk mencuci dosa ekologi industri kotor batu bara.

Dari sisi bisnis, keuntungan adalah segalanya. Untuk itu segala cara bisa dilakukan, termasuk menjebak ormas keagamaan agar menggunakan narasi agama untuk mencuci dosa ekologi dari tambang batu bara.

Di tingkat global, ancaman batu bara adalah krisis iklim. Ancaman terhadap keselamatan manusia itulah yang membuat bank-bank internasional mulai enggan mengucurkan kredit ke industri kotor itu.

Beberapa bank sejak 2022 mulai meninggalkan pendanaan ke industri kotor batu bara. Pada 2022 lalu misalnya, Standard Chartered, salah satu bank terbesar di Inggris telah menghentikan dukungan pendanaan ke perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia, PT Adaro Energy Tbk (ADRO).

Langkah itu disusul bank terbesar Singapura, DBS. Bukan hanya itu, bank asal Malaysia, Malayan Banking Berhad (Maybank), juga menghentikan pembiayaan untuk aktivitas tambang batu bara.

Bank-bank di Indonesia memang belum memutuskan untuk menghentikan pendanaan ke batu bara, namun mereka sudah mulai membatasinya.

Menurut laporan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang berjudul "Indonesia Sustainable Finance Outlook 2023" mengungkapkan Bank Rakyat Indonesia (BRI) sejak Mei tahun 2022 telah membatasi porsi pendanaan sektor batu bara di bawah 3 persen.

Pembatasan porsi pendaan ke batu bara juga dilakukan oleh Bank Negara Indonesia (BNI). Pada acara public expose di 2022, Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini mengungkapkan, komposisi kredit pendanaan proyek batu bara hanya sebesar 2 persen. BNI akan selektif melakukan pendanaan ke batu bara.

Selain untuk memenangkan perdebatan di media, penggunaan wacana agama juga untuk mempersempit ruang demokrasi. Dengan bergesernya wacana dari ekologi ke agama, pihak yang berdebat akan semakin terbatas.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau