KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meresmikan pendirian menara pemantau Gas Rumah Kaca (GRK) di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, pada Kamis (18/7/2024).
Menara tersebut bertujuan mendukung upaya pengendalian suhu permukaan bumi yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, menara pemantau GRK tersebut adalah yang kedua yang sudah dimiliki Indonesia. Sebelumnya, pada 2023, menara pertama dibangun di Bukit Kototabang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
BMKG menilai menara pemantau GRK setinggi 100 meter tersebut sangat penting dalam upaya mengendalikan perubahan iklim yang membawa peningkatan suhu permukaan bumi secara drastis dalam beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Suhu Laut Selandia Baru Pecahkan Rekor Tertinggi
"Tujuannya untuk memonitor gas-gas rumah kaca yang ambient, atau secara natural kehadirannya," ujar Dwikorita saat ditemui di Kantor BMKG, Jakarta, pada Jumat (12/7/2024) lalu.
Ia mengatakan, menara pantau GRK memiliki kemampuan untuk mengklasifikasikan kadar karbon penyumbang utama GRK, seperti karbondioksida (CO2), belerang dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metana (CH4), dan klorofluorokarbon (CFC).
Data klasifikasi yang terekam pada menara BMKG itu, kata dia, selanjutnya akan dikomparasi dengan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian PPN/Bappenas untuk dijadikan landasan bagi pemerintah dalam mengintervensi kebijakan pembangunan jangka menengah pengendalian iklim.
Melalui data tersebut, sumber GRK dapat dianalisis, agar dapat diketahui cara penanganan dan solusinya.
"Tujuannya agar kita lebih detail, lebih teliti dalam memonitor gas-gas rumah kaca yang dilaporkan ke presiden, sehingga presiden dan LHK ketika memutuskan kebijakan itu berbasis data yang lebih akurat," terang Dwikorita
Ia juga menjelaskan, terjadi peningkatan suhu di permukaan bumi. Peningkatan tersebut diketahui berdasarkan kajian Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) tahun lalu.
Sejak tahun 1970 sampai dengan 2023, didapati lonjakan suhu permukaan bumi hingga 1,45 derajat Celsius, dikutip dari Antara (18/7/2024).
Tingkat kenaikan suhu global dari WMO tersebut hanya terpaut 0,05 derajat dari ambang batas peningkatan suhu permukaan yang disepakati negara-negara dunia, termasuk Indonesia, dalam konferensi Paris Agreement pada 2015 yakni setinggi 1,5 derajat Celsius.
Baca juga: Skenario Terburuk, Suhu Indonesia Bisa Naik 3,5 Derajat pada 2100
"1,45 derajat itu peningkatan yang lebih cepat, bahkan melampaui masa revolusi industri Inggris (1730-1800 an)," ujar Dwikorita.
Industri berbahan bakar batubara (mineral), moda transportasi, dan sumber polutan lainnya secara domestik juga berimplikasi pada peningkatan suhu maksimum di Indonesia.
Adapun BMKG memproyeksikan setelah Sumatera Barat dan Jambi, akan ada enam daerah lain yang akan dibangun menara pemantau GRK tersebut, salah satunya Sumatera Selatan.
Hal ini mengacu pada indeks kerentanan daerah-daerah itu mengalami perubahan iklim, seperti yang akibatkan oleh tingginya kegiatan pembukaan lahan dan kepadatan mobilitas.
"Intinya semua ini adalah wujud komitmen pemerintah mempertahankan peningkatan suhu tidak lebih dari 0,05 derajat dari ambang batas tadi," ujarnya.
Apabila tidak berhasil mempertahankannya, kata Dwikorita, maka suhu bumi akan menjadi sangat panas. Bahkan, diproyeksikan pada 2050 menyentuh 3 derajat Celcius, yang dapat mengakibatkan manusia merasakan kondisi krisis pangan yang besar.
note: ini kutipannya aku dapet pas sharing media di kantor BMKG minggu lalu ya mbak, jadi yg antara nambahin aja pas peresmian
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya