SILANG pendapat antara Kapolda Gorontalo dengan Pj Gubernur Gorontalo dan Bupati Bone Bolango tentang pembuatan chek point dan pendaratan darurat landasan helikopter untuk penanganan longsor tambang rakyat ilegal di Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, terungkap dalam tayangan salah satu media televisi nasional.
Musibah tersebut memakan banyak korban jiwa. Data terakhir, 27 orang meninggal dunia, 284 korban selamat dan 14 orang masih dalam proses pencarian.
Kapolda Gorontalo kurang puas terhadap kinerja Bupati maupun PJ Gubernur yang terlambat datang dan ketidaksiapan pembangunan chek point tersebut. Sementara landasan helikopter yang dipakai untuk mengangkut korban tewas maupun yang masih hidup sudah siap dioperasikan.
Bupati dan Pj Gubernur berkilah bahwa izin pertambangan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Lebih jauh, Kapoda menjelaskan bahwa sebenarnya lokasi tambang rakyat ilegal tersebut adalah kawasan tambang berizin dari sebuah atau beberapa perusahaan/korporasi yang legal diberikan oleh pemerintah.
Namun setelah dilakukan ekploitasi, potensi dan deposit tambang emas yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan (potensi emasnya kecil) sehingga lokasi tambang emas ditinggalkan oleh perusahaan/korporasi.
Bekas tambang yang ditinggalkan tersebut akhirnya diokupasi dan diserbu oleh masyarakat lokal dan penambang dari luar daerah Gorontalo.
Penambangan emas ilegal oleh masyarakat di Suwawa konon sudah terjadi sejak 1972 dan berlangsung hingga terjadinya musibah tanah longsor pada 2024.
Ada kesan pembiaran penambangan rakyat ilegal di Suwawa ini, baik oleh pemerintah Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo maupu aparat keamanan di daerah tersebut.
Pertanyaannya, tambang rakyat ilegal di Bone Bolango ini menjadi tanggung jawab siapa?
Bupati dan Pj Gubernur melempar tanggung jawab ke pemerintah pusat. Pemerintah pusat yang dimaksud, apakah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)?
Kalau pertambangan yang dimaksud mempunyai perizinan secara legal, Kementerian ESDM jelas ikut terlibat perizinannya.
Atau kalau melihat topografinya di lapangan, daerah yang longsor dikelilingi kawasan hutan primer, jelas lokasi longsor tersebut masih masuk dalam kawasan hutan. Dengan demikian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga ikut terlibat di dalamnya.
Saya selaku pengamat kehutanan dan lingkungan mencoba menguraikan izin pertambangan (termasuk tambang emas) secara legal yang berada dalam kawasan hutan sampai dengan keterlibatannya Kemeterian ESDM setelah izin dari KLHK diterbitkan.
Secara regulasi kehutanan, pertambangan dalam kawasan hutan diizinkan secara legal. Undang-undang (UU) No 41/1999 tentang kehutanan pasal 38 ayat (1) menyebut bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
Kegiatan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembuatan jalan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.
Mekanisme yang ditempuh dalam kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan produksi maupun hutan lindung adalah melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam peraturan pemerintah (PP) No 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, IPPKH juga disebut dengan izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yakni penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan/atau penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah.
Sementara dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan: a) turunnya permukaan tanah; b) berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan/atau ; c) terjadinya kerusakan akuifer air tanah.
Persetujuan penggunaan kawasan hutan diberikan oleh Menteri LHK berdasarkan permohonan. Menteri dapat melimpahkan wewenang pemberian persetujuan penggunaan kawasan hutan dengan luasan tertentu kepada gubernur untuk pertambangan rakyat.
Pemegang izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dibebani kewajiban finansial untuk membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk PNBP penggunaan kawasan hutan dan PNBP kompensasi untuk pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan pada provinsi yang kurang kecukupan luas kawasan hutannya.
Pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan dilarang menggunakan merkuri bagi kegiatan pertambangan.
Dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) no. P.27/2018 tentang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis, IPPKH hanya dapat diberikan setelah mendapat persetujuan dari DPR.
Kriteria penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis adalah pertambangan yang berada di dalam Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) yang berasal dari Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang telah disetujui oleh DPR RI.
Kuota IPPKH untuk kegiatan pertambangan mineral dan batu bara pada kawasan hutan produksi, yaitu 10 persen dari luas efektif setiap izin pemanfaatan hutan, pada kawasan hutan yang telah dibebani izin pemanfaatan hutan.
Kuota 10 persen luas kawasan hutan produksi kabupaten/kota pada areal Kesatuan Pengelolaan Hutan yang tidak dibebani Izin pemanfaatan hutan.
Kuota 10 persen luas kawasan hutan produksi kabupaten/kota di luar areal kesatuan pengelolaan hutan yang tidak dibebani izin pemanfaatan hutan.
Kuota IPPKH untuk kegiatan pertambangan mineral dan batu bara pada pulau yang termasuk pulau kecil dapat dipertimbangkan adalah seluas 10 persen dari luas kawasan hutan produksi dan hutan lindung di pulau yang bersangkutan.
Dalam hal permohonan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan mineral dan batu bara berada pada Kawasan Hutan Lindung, kuota IPPKH yang dapat dipertimbangkan adalah 10 persen dari luas kelompok hutan lindung yang bersangkutan.
Bilamana pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan /IPPKH untuk kegiatan pertambangan telah melaksanakan dan memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh PP no. 23/2021, maka tanggung jawab operasional (eksplorasi dan eksplotasi) dalam hal pembinaannya telah berpindah tangan menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM, termasuk kewajiban PNBP dan pajak-pajak yang terkait dengan hasil pertambangan yang ada di dalamnya sampai dengan jangka waktu persetujuan penggunaan kawasan hutan /IPPKH berakhir.
Apabila benar izin pertambangan emas di Suwawa yang telah diberikan izin kepada perusahaan/korporasi tersebut telah ditinggalkan oleh pemegang izin sebelum jangka waktunya berakhir, maka mestinya diserahkan kembali secara sukarela oleh pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan kepada Menteri LHK sebelum jangka waktu berakhir dengan pernyataan tertulis.
Berdasarkan penyerahan kembali secara sukarela, Menteri LHK menerbitkan keputusan pencabutan persetujuan penggunaan kawasan hutan/IPPKH kegiatan pertambangan tersebut.
Hapusnya persetujuan penggunaan kawasan hutan tidak membebaskan kewajiban pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan untuk menyelesaikan kewajiban, yakni:
Terkait dengan penambang rakyat ilegal dan masuk dalam kawasan hutan bekas lokasi tambang yang ditinggalkan oleh perusahaan atau korporasi pemegang izin yang legal, maka pertambangan rakyat ilegal yang masuk dalam kawasan hutan tersebut dapat dikategorikan sebagai perambah/okupasi dalam kawasan hutan dengan kegiatan illegal mining.
Kerusakan hutan di Indonesia selama ini disebabkan oleh illegal logging, illegal mining, kebun/perkebunan ilegal, dan kebakaran hutan.
Sepanjang IPPKH dari kawasan hutan masih dipegang oleh perusahaan/korporasi tersebut dan belum diserahkan secara sukarela ke Kementerian LHK, maka illegal mining yang dilakukan oleh masyarakat, penertibannya menjadi tanggung jawab korporasi di bawah pembinaan Kemeterian ESDM.
Sementara apabila izinnya telah diserahkan ke KLHK dan telah diterbitkan izin pencabutannya oleh Menteri LHK, maka kawasan hutan yang dintervensi oleh illegal mining tersebut; tanggung jawab pengawasan lokasinya ada di bawah KLHK dibantu oleh pemerintah daerah provinsi dan aparat keamanan setempat sesuai dengan UU No 23/2014 tentang pemerintah daerah.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya