Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arip Muttaqien
Akademisi/Peneliti (Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI)

Saat ini berkiprah sebagai akademisi/peneliti di Universitas Indonesia. Tertarik dengan berbagai topik ekonomi, pembangunan berkelanjutan, pembangunan internasional, Asia Tenggara, monitoring-evaluasi, serta isu interdisiplin. Doktor ekonomi dari UNU-MERIT/Maastricht University (Belanda). Alumni generasi pertama beasiswa LPDP master-doktor. Pernah bekerja di ASEAN Secretariat, Indonesia Mengajar, dan konsultan marketing. Bisa dihubungi di https://www.linkedin.com/in/aripmuttaqien/

Rantai Pasok Mineral Kritis dalam Transisi Ekonomi Hijau

Kompas.com - 29/07/2024, 17:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Terakhir, ada mineral lintas sektor (cross-cutting minerals) seperti tembaga dan nikel. Mineral-mineral ini digunakan dalam berbagai teknologi dan dianggap sebagai elemen fundamental dalam mendukung transisi ekonomi hijau.

Rantai pasok mineral kritis

Dengan potensi peningkatan kebutuhan mineral kritis untuk transisi menuju ekonomi hijau, siapa pun yang memiliki akses ke sumber daya ini akan menjadi sangat penting.

Sebagai contoh, Chili, Kongo, dan Peru adalah tiga negara penghasil tembaga terbesar di dunia, yang menyumbang hampir 45 persen produksi tembaga global.

Dalam hal pengolahan tembaga, Tiongkok, Chili, dan Jepang adalah tiga negara terbesar, yaitu hampir 60 persen.

Untuk nikel, Indonesia adalah produsen terbesar (49 persen), disusul Filipina (10 persen), dan Rusia (6 persen). Sedangkan untuk pengolahan nikel adalah Indonesia (43 persen), Tiongkok (17 persen), dan Rusia (5 persen).

Mineral kritis lainnya, seperti kobalt, litium, grafit, dan unsur logam langka, lebih terkonsentrasi di beberapa negara. Tiga negara terbesar penghasil masing-masing mineral ini berkontribusi lebih dari 70 persen terhadap produksi global.

Untuk industri pengolahan kobalt, litium, grafit, dan unsur logam langka, Tiongkok memiliki dominasi yang signifikan.

Tiongkok sangat bergantung pada impor bahan mentah dari berbagai negara, terutama dari Kongo untuk memenuhi kebutuhan industrinya.

Fakta di atas menunjukkan bagaimana rantai pasok mineral kritis secara global. Satu hal penting lain adalah bagaimana memastikan bahwa proses yang dilakukan semuanya bersih dan hijau.

Sebagai contoh, kita harus berhati-hati agar kebutuhan mendesak akan mineral kritis tidak menyebabkan penambangan berlebihan dan pembuangan limbah ke laut.

Kasus lain seperti di Kongo di mana terjadi pelibatan pekerja anak juga harus kita hindari. Jika hal-hal ini terjadi, maka transisi energi bersih sebenarnya dilakukan dengan cara yang tidak bersih.

Setidaknya, pada pertemuan Menteri bidang Minerals tingkat ASEAN pada November 2023 di Kamboja sudah mendeklarasikan tentang promosi ASEAN sebagai tujuan investasi pembangunan mineral berkelanjutan (sustainable minerals development).

Oleh karena itu, sangat penting memastikan bahwa semua proses untuk mendapatkan energi bersih juga "dilakukan dengan bersih."

Konsep penambangan mineral yang berkelanjutan harus menjadi prioritas. Ini bukan hanya sekadar wacana, tetapi harus benar-benar diimplementasikan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

China Berencana Bangun PLTS di Luar Angkasa, Bisa Terus Panen Energi Matahari

China Berencana Bangun PLTS di Luar Angkasa, Bisa Terus Panen Energi Matahari

Pemerintah
AS Pertimbangkan Tambang Laut Dalam untuk Cari Nikel dan Lawan China

AS Pertimbangkan Tambang Laut Dalam untuk Cari Nikel dan Lawan China

Pemerintah
LPEM UI: Penyitaan dan Penyegelan akan Rusak Tata Kelola Sawit RI

LPEM UI: Penyitaan dan Penyegelan akan Rusak Tata Kelola Sawit RI

Pemerintah
Jaga Iklim Investasi, LPEM FEB UI Tekankan Pentingnya Penataan Sawit yang Baik

Jaga Iklim Investasi, LPEM FEB UI Tekankan Pentingnya Penataan Sawit yang Baik

Pemerintah
Reklamasi: Permintaan Maaf yang Nyata kepada Alam

Reklamasi: Permintaan Maaf yang Nyata kepada Alam

LSM/Figur
Dampak Ekonomi Perubahan Iklim, Dunia Bisa Kehilangan 40 Persen GDP

Dampak Ekonomi Perubahan Iklim, Dunia Bisa Kehilangan 40 Persen GDP

LSM/Figur
Studi: Mikroplastik Ancam Ketahanan Pangan Global

Studi: Mikroplastik Ancam Ketahanan Pangan Global

LSM/Figur
Kebijakan Tak Berwawasan Lingkungan Trump Bisa Bikin AS Kembali ke Era Hujan Asam

Kebijakan Tak Berwawasan Lingkungan Trump Bisa Bikin AS Kembali ke Era Hujan Asam

Pemerintah
Nelayan di Nusa Tenggara Pakai “Cold Storage” Bertenaga Surya

Nelayan di Nusa Tenggara Pakai “Cold Storage” Bertenaga Surya

LSM/Figur
Pakar Pertanian UGM Sebut Pemanasan Global Ancam Ketahanan Pangan Indonesia

Pakar Pertanian UGM Sebut Pemanasan Global Ancam Ketahanan Pangan Indonesia

LSM/Figur
3 Akibat dari Perayaan Lebaran yang Tidak Ramah Lingkungan

3 Akibat dari Perayaan Lebaran yang Tidak Ramah Lingkungan

LSM/Figur
1.620 Km Garis Pantai Greenland Tersingkap karena Perubahan Iklim, Lebih Panjang dari Jalur Pantura

1.620 Km Garis Pantai Greenland Tersingkap karena Perubahan Iklim, Lebih Panjang dari Jalur Pantura

LSM/Figur
Semakin Ditunda, Ongkos Atasi Krisis Iklim Semakin Besar

Semakin Ditunda, Ongkos Atasi Krisis Iklim Semakin Besar

LSM/Figur
Harus 'Segmented', Kunci Bisnis Sewa Pakaian untuk Dukung Lingkungan

Harus "Segmented", Kunci Bisnis Sewa Pakaian untuk Dukung Lingkungan

Swasta
ING Jadi Bank Global Pertama dengan Target Iklim yang Divalidasi SBTi

ING Jadi Bank Global Pertama dengan Target Iklim yang Divalidasi SBTi

Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau