Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arip Muttaqien
Akademisi/Peneliti (Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI)

Saat ini berkiprah sebagai akademisi/peneliti di Universitas Indonesia. Tertarik dengan berbagai topik ekonomi, pembangunan berkelanjutan, pembangunan internasional, Asia Tenggara, monitoring-evaluasi, serta isu interdisiplin. Doktor ekonomi dari UNU-MERIT/Maastricht University (Belanda). Alumni generasi pertama beasiswa LPDP master-doktor. Pernah bekerja di ASEAN Secretariat, Indonesia Mengajar, dan konsultan marketing. Bisa dihubungi di https://www.linkedin.com/in/aripmuttaqien/

Rantai Pasok Mineral Kritis dalam Transisi Ekonomi Hijau

Kompas.com - 29/07/2024, 17:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Penelitian tersebut membandingkan kebutuhan mineral kritis antara Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di lautan lepas (offshore wind), PLTB di daratan (onshore wind), panel surya (solar PV), nuklir, batubara (coal), dan gas alam (natural gas).

Dari berbagai jenis pembangkit listrik, PLTB lepas pantai membutuhkan jumlah mineral kritis paling banyak, yaitu lebih dari 15.000 kg mineral kritis untuk menghasilkan 1 Megawatt (MW) listrik.

Sementara itu, PLTB darat memerlukan lebih dari 10.000 kg mineral kritis per MW. Panel surya memerlukan hampir 7.000 kg mineral kritis per MW.

Sebagai perbandingan, pembangkit listrik berbahan bakar fosil memerlukan jauh lebih sedikit mineral kritis.

Pembangkit listrik tenaga batu bara hanya memerlukan sekitar 2.500 kg mineral kritis per MW, sedangkan pembangkit listrik tenaga gas alam hanya memerlukan sekitar 1.100 kg mineral kritis per MW.

Jenis mineral yang paling banyak diperlukan adalah tembaga (copper), seng (zinc), dan silikon (silicon). Tembaga dan seng sangat dibutuhkan dalam jumlah besar untuk PLTB, baik yang berada di leps pantai maupun di darat.

Menariknya, hampir 90 persen material yang digunakan untuk PLTB berasal dari dua mineral kritis ini, menyoroti betapa pentingnya peran tembaga dan seng dalam mendukung keberlanjutan teknologi energi angin.

Hampir 60 persen material untuk panel surya berasal dari silikon dan hampir 40 persen berasal dari tembaga. Sisanya sangat kecil sekali, yaitu 0,5 persen dari seng.

Jenis mineral kritis lain yang diperlukan adalah nikel (nickel), mangan (manganese), kromium (chromium), dan molybdenum (molybdenum).

Bank Dunia (2020) mengklasifikasikan mineral kritis ke dalam empat kategori utama, yang menggambarkan betapa pentingnya peran mereka dalam teknologi dan transisi ekonomi hijau.

Pertama, ada mineral berdampak tinggi dan lintas bidang aplikasi (high-impact and cross-cutting minerals). Contohnya adalah aluminium, yang digunakan dalam berbagai teknologi.

Permintaan terhadap aluminium diperkirakan akan meningkat secara signifikan karena perannya yang luas dalam berbagai teknologi.

Kedua, terdapat mineral berdampak tinggi (high-impact minerals) seperti kobalt, grafit, dan litium. Mineral-mineral ini sangat diperlukan untuk teknologi tertentu, terutama dalam bidang penyimpanan energi.

Ketiga, kategori mineral berdampak sedang (medium-impact minerals) mencakup unsur logam langka (Rare Earth Elements).

Meskipun penggunaannya tidak seumum mineral lainnya, mereka sangat penting untuk teknologi tertentu dan permintaannya diperkirakan akan meningkat moderat.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

UNESCO Resmikan 16 Geopark Baru, 2 dari Indonesia

UNESCO Resmikan 16 Geopark Baru, 2 dari Indonesia

Pemerintah
Kearifan Lokal Perlu Dilibatkan dalam Penanggulangan Krisis Iklim

Kearifan Lokal Perlu Dilibatkan dalam Penanggulangan Krisis Iklim

LSM/Figur
Kemenkeu Sebut APBN Gelontorkan Rp 610,12 Triliun untuk Aksi Iklim

Kemenkeu Sebut APBN Gelontorkan Rp 610,12 Triliun untuk Aksi Iklim

Pemerintah
Indonesia Bisa Ciptakan 2 Juta Green Jobs jika Jadi Hub Produksi EV

Indonesia Bisa Ciptakan 2 Juta Green Jobs jika Jadi Hub Produksi EV

Swasta
Indonesia Bisa Jadi Pemasok Besar Hidrogen Hijau Dunia, Begini Strateginya

Indonesia Bisa Jadi Pemasok Besar Hidrogen Hijau Dunia, Begini Strateginya

LSM/Figur
Sebar Kurban di Pelosok Maluku, Human Initiative Hadirkan Harapan untuk Warga

Sebar Kurban di Pelosok Maluku, Human Initiative Hadirkan Harapan untuk Warga

Advertorial
Mangrove Rumah bagi 700 Miliar Satwa Komersial, Kerusakannya Picu Krisis

Mangrove Rumah bagi 700 Miliar Satwa Komersial, Kerusakannya Picu Krisis

LSM/Figur
Ekspansi Pembangkit Listrik Gas Dikhawatirkan Bikin Energi Terbarukan Jalan di Tempat

Ekspansi Pembangkit Listrik Gas Dikhawatirkan Bikin Energi Terbarukan Jalan di Tempat

LSM/Figur
97 Persen Pemimpin Perusahaan Global Desak Transisi Listrik Terbarukan

97 Persen Pemimpin Perusahaan Global Desak Transisi Listrik Terbarukan

Swasta
PLN Mengaku Siap Kaji Pensiun Dini PLTU Batu Bara

PLN Mengaku Siap Kaji Pensiun Dini PLTU Batu Bara

Pemerintah
Konsumen dan Investor akan Semakin Kritis terhadap 'Sustainability Washing'

Konsumen dan Investor akan Semakin Kritis terhadap "Sustainability Washing"

Swasta
Perusahaan yang Gabungkan AI dan Keberlanjutan Raih Keuntungan Lebih Tinggi

Perusahaan yang Gabungkan AI dan Keberlanjutan Raih Keuntungan Lebih Tinggi

Swasta
MIND ID-PT Timah Kembangkan Proyek Logam Tanah Jarang

MIND ID-PT Timah Kembangkan Proyek Logam Tanah Jarang

BUMN
KKP Rilis Panduan untuk Selamatkan 30 Persen Laut Indonesia

KKP Rilis Panduan untuk Selamatkan 30 Persen Laut Indonesia

Pemerintah
RI harus Selesaikan Isu 'Sustainability' Agar Produk Nikel Tembus Pasar Negara Maju

RI harus Selesaikan Isu "Sustainability" Agar Produk Nikel Tembus Pasar Negara Maju

Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau