Penelitian tersebut membandingkan kebutuhan mineral kritis antara Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di lautan lepas (offshore wind), PLTB di daratan (onshore wind), panel surya (solar PV), nuklir, batubara (coal), dan gas alam (natural gas).
Dari berbagai jenis pembangkit listrik, PLTB lepas pantai membutuhkan jumlah mineral kritis paling banyak, yaitu lebih dari 15.000 kg mineral kritis untuk menghasilkan 1 Megawatt (MW) listrik.
Sementara itu, PLTB darat memerlukan lebih dari 10.000 kg mineral kritis per MW. Panel surya memerlukan hampir 7.000 kg mineral kritis per MW.
Sebagai perbandingan, pembangkit listrik berbahan bakar fosil memerlukan jauh lebih sedikit mineral kritis.
Pembangkit listrik tenaga batu bara hanya memerlukan sekitar 2.500 kg mineral kritis per MW, sedangkan pembangkit listrik tenaga gas alam hanya memerlukan sekitar 1.100 kg mineral kritis per MW.
Jenis mineral yang paling banyak diperlukan adalah tembaga (copper), seng (zinc), dan silikon (silicon). Tembaga dan seng sangat dibutuhkan dalam jumlah besar untuk PLTB, baik yang berada di leps pantai maupun di darat.
Menariknya, hampir 90 persen material yang digunakan untuk PLTB berasal dari dua mineral kritis ini, menyoroti betapa pentingnya peran tembaga dan seng dalam mendukung keberlanjutan teknologi energi angin.
Hampir 60 persen material untuk panel surya berasal dari silikon dan hampir 40 persen berasal dari tembaga. Sisanya sangat kecil sekali, yaitu 0,5 persen dari seng.
Jenis mineral kritis lain yang diperlukan adalah nikel (nickel), mangan (manganese), kromium (chromium), dan molybdenum (molybdenum).
Bank Dunia (2020) mengklasifikasikan mineral kritis ke dalam empat kategori utama, yang menggambarkan betapa pentingnya peran mereka dalam teknologi dan transisi ekonomi hijau.
Pertama, ada mineral berdampak tinggi dan lintas bidang aplikasi (high-impact and cross-cutting minerals). Contohnya adalah aluminium, yang digunakan dalam berbagai teknologi.
Permintaan terhadap aluminium diperkirakan akan meningkat secara signifikan karena perannya yang luas dalam berbagai teknologi.
Kedua, terdapat mineral berdampak tinggi (high-impact minerals) seperti kobalt, grafit, dan litium. Mineral-mineral ini sangat diperlukan untuk teknologi tertentu, terutama dalam bidang penyimpanan energi.
Ketiga, kategori mineral berdampak sedang (medium-impact minerals) mencakup unsur logam langka (Rare Earth Elements).
Meskipun penggunaannya tidak seumum mineral lainnya, mereka sangat penting untuk teknologi tertentu dan permintaannya diperkirakan akan meningkat moderat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya