Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 31/07/2024, 14:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Pemanfaatan teknologi penangkap penyimpan karbon atau carbon capture and storage (CCS/CCUS) di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dinilai bakal melanggengkan penggunaan enegri fosil, terutama batu bara.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira berujar, berdasarkan berbagai penelitian, alasan mengapa terus ada upaya penerapan CCS/CCUS adalah karena ada dorongan untuk terus menggunakan bahan bakar fosil.

Padahal, kata Bhima, CCS/CCUS merupakan teknologi yang belum terbukti.

Baca juga: CCS/CCUS Dinilai Tak Layak Secara Ekonomi, Konsumen Listrik Bisa Kena Getahnya

"Industri-industri ini cenderung memilih teknologi yang mahal dan belum terbukti, salah satunya CCS/CCUS. Mereka belum mau beralih ke energi terbarukan," ucap Bhima dalam diskusi publik yang digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan dipantau secara daring, Senin (29/7/2024).

Menurut sebuah studi, dalam jangka menegah dan panjang, kehadiran CCS/CCUS akan meningkatkan konsumsi bahan bakar fosil sampai 65 persen dari cadangan yang ada pada 2100.

Dengan demikian, CCS/CCUS akan tetap melanggengkan eksplorasi bahan bakar fosil terutama batu bara karena permintaannya yang tidak berkurang.

"Kita enggak akan selesai menggunakan energi kotor dengan CCS/CCUS ini karena seolah-olah ada jalan tengah (untuk transisi energi)," ucap Bhima.

Baca juga: Anggota Komite BPH MIgas Akui CCS Akan Perpanjang Energi Fosil

Selain itu, CCS/CCUS juga masih memunculkan residual emisi di dalam fasilitas PLTU yang memasang alat tersebut.

"Pada akhirnya, yang tadinya ditujukan untuk menurunkan karbon dioksida ternyata masih ada residulan emisi yang tidak bisa dihilangkan, dan itu menjadi permasalahan baru," jelas Bhima.

Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi Dwi Sawung menyampaikan, ada berbagai risiko kebocoran dari teknologi CCS/CCUS mulai dari transportasi hingga penyimpanannya.

Dia menuturkan, penyimpanan karbon memanfaatkan bawah tanah, di mana lapisan batuannya stabil selama ratusan atau ribuan tahun.

Jika terjadi gempa bumi, karbon yang tersimpan di bawah tanah tersebut berpotensi lepas dan menguar ke udara.

"Itu akan menjadi bencana geologis yang sangat parah. Karbon yang terkompresi akan bocor akan melonjak sangat drastis," kata Sawung.

Baca juga: Lemigas Dorong 15 Proyek CCS, Kejar Target Emisi Nol Bersih

Risiko kebocoran juga bisa terjadi dalam proses transportasinya yakni memindahkan karbon dari PLTU ke tempat penyimpanannya.

Risiko bisa berlipat ganda apabila mentransfer karbon dari luar negeri ke Indonesia.

"Transportasi dengan membawa (karbon) bertekanan tinggi seperti itu risikonya sangat tinggi," ujar Sawung.

Selain itu, pemantauan CCS/CCUS di pembangkit juga sangat rumit. Tidak ada ruang untuk kelalaian.

"Yang mahal jadi sangat mahal. Jadi sampai sekarang masih wacana saja. Biayanya itu lebih murah bangun energi terbarukan," tutur Sawung.

Baca juga: CCS Lintas Negara Bikin Indonesia Tempat Pemutihan Karbon dari Negara Lain

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau