Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Ekosistem Gambut dan Mangrove Indonesia dalam Konstelasi Pemanasan Global

Kompas.com - 12/08/2024, 12:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMANASAN global, semua orang sudah tahu dan paham karena sudah merasakan dampaknya.

Di Indonesia akibat pemanasan global yang panjang menyebabkan efek El Nino yang membawa kekeringan berkepanjangan pada 2023 lalu.

Penyebab krisis iklim adalah pemanasan global dipicu emisi karbon di atmosfer. Emisi karbon adalah hasil aktivitas ekonomi manusia.

Penyebab terbesar adanya emisi karbon di antaranya akibat alih fungsi hutan untuk kepentingan nonkehutanan.

Menurut data terakhir, sektor terbesar penyumbang emisi sebesar 48 persen berasal dari perubahan fungsi hutan menjadi non-hutan.

Menyusul karbon dari transportasi sebesar 21 persen, kebakaran sebesar 12 persen, limbah pabrik sebesar 11 persen, pertanian 5 persen, dan sektor industri 3 persen.

Aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dari sektor kehutanan adalah hilangnya vegetasi kayu akibat penebangan hutan, baik secara legal (melalui perizinan resmi) maupun ilegal (melalui perambahan hutan dan pencurian kayu) serta kebakaran hutan.

Indonesia merupakan tiga besar pemilik hutan tropika basah di dunia setelah negara Brasil dan Republik Demokratik Kongo yang mempunyai saham besar dalam penyerapan emisi karbon dari kawasan hutannya.

Beberapa tipe ekosistem hutan tropika basah yang mempunyai andil besar dalam penyerapan dan penyimpanan ekosistem karbon adalah ekosistem hutan gambut dan hutan mangrove.

Indonesia beruntung mempunyai etalase formasi hutan yang lengkap mulai dari pantai sampai hutan hujan dataran tinggi.

Tipe ekosistem hutan dari bawah adalah hutan pantai dan mangrove, hutan gambut, hutan tropika basah dataran rendah dan hutan tropika basah dataran tinggi.

Terdapat dua ekosistem hutan unik yang selalu digenangi air, walaupun karakteristiknya berbeda, yaitu hutan mangrove dan gambut.

Keduanya diklaim sebagai ekosistem yang mampu menyerap emisi karbon terbesar dibanding hutan tropis lainnya.

Hutan sekunder mangrove mampu menyimpan karbon 54,1 – 182,5 ton karbon setiap hektare. Mangrove diklaim dapat menyimpan karbon 3-5 kali lebih tinggi dari hutan tropis.

Sementara itu, hasil penelitian mengemukakan bahwa hutan gambut memiliki potensi sebagai penyerap emisi karbon sangat besar di bumi.

Kebakaran gambut di Indonesia tahun 1997-1998 telah melepaskan hingga 2,5 miliar ton karbon, sedangkan kebakaran tahun 2002-2003 telah melepaskan antara 200 juta hingga satu miliar ton karbon ke atmosfer.

Bagaimana sebenarnya posisi dan peran ekosistem gambut dan mangrove Indonesia terkait penyerapan emisi karbon secara global?

Berikut ini diuraikan deforestasi dan kerusakan, regulasi dan pemulihan terkait ekosistem gambut dan mangrove di Indonesia.

Ekosistem gambut

Ekosistem gambut Indonesia yang mempunyai luas mencapai 13,34 juta hektare menjadi contoh sempurna hutan tropika yang lengkap dalam kondisi klimaks.

Dengan vegetasi heterogen, tanah gambut berlapis-lapis dan air rawa yang menyatu dengan ekosistem hutan hingga menjadi ekosistem hutan rawa gambut.

Dengan ekosistem seperti itu, gambut menjadi penyerap dan penyimpan emisi karbon sangat besar. Secara alami, hidrologi gambut memiliki mekanisme perlindungan diri untuk mencegah kebakaran besar.

Peran hutan alam primer rawa gambut di Indonesia, khususnya Kalimantan dalam percaturan pengendalian iklim mulai menampakkan sosok yang sesungguhnya.

Dalam laporan riset yang diterbitkan jurnal Nature Sustainability pada 18 November 2021 lalu, tim peneliti dari Conservation International, Amerika Serikat telah membuat peta terbaru bagian dunia yang memiliki konsentrasi karbon amat tinggi dan jika terlepas akan memicu bencana iklim.

Wilayah gambut di Kalimantan dan Papua termasuk yang memiliki konsentrasi karbon di bumi.

Kelompok peneliti yang dipimpin Monica L. Noon ini menyebutkan untuk menghindari bencana perubahan iklim dibutuhkan dekorbonisasi yang cepat dan pengelolaan ekosistem lebih baik pada skala planet.

Karbon yang dilepaskan melalui pembakaran bahan baku fosil akan membutuhkan waktu ribuan tahun untuk beregenerasi di bumi.

Monica dan tim menemukan wilayah di bumi yang menyimpan karbon tertinggi dan harus dijaga di antaranya adalah permafrost atau tanah beku di belahan utara termasuk Siberia dan kawasan rawa-rawa sepanjang pantai barat laut Amerika Serikat.

Selain itu, Lembah Amazon, Cekungan Kongo, dan sebagain wilayah Kalimantan. Beberapa area itu merupakan kawasan mangrove, yang lain berupa lahan gambut.

Untuk Indonesia, selain Kalimantan yang dipetakan menyimpan karbon yang sangat tinggi adalah Papua bagian selatan.

Kawasan itu merupakan penyerap karbon alami dan dapat dianggap jadi sumber penyimpan sumber daya yang tidak bisa dipulihkan. Sebab jika karbon tersimpan dilepaskan oleh aktivitas manusia, maka butuh waktu berabad-abad bagi daerah itu untuk pulih.

Jika karbon lepas, hal itu tidak dapat dipulihkan dalam jangka waktu tertentu, minimal selama 30 tahun. Padahal emisi global harus mencapai emisi bersih pada 2050.

Sejak 2010, pertanian, penebangan kayu dan kebakaran hutan melepaskan emisi karbon setidaknya 4 gigaton (Gt) karbon yang tidak dapat dipulihkan.

Sisanya 139 – 443 gigaton (Gt) karbon dunia yang tidak dapat dipulihkan itu menghadapi risiko konversi penggunaan lahan dan perubahan iklim. Jika itu terjadi, maka bakal akan terjadi bencana iklim.

Risiko ini dapat dikurangi melalui perlindungan proaktif dan manajemen adaptif. Dalam pemetaan ini, 23 persen karbon yang tidak dapat dipulihkan berada dalam kawasan lindung dan 33,6 persen dikelola masyarakat adat serta komunitas lokal.

Indonesia bisa mengehemat miliaran dollar AS jika bisa menjaga dan memulihkan lahan gambutnya. Selain itu, upaya ini dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencegah 12.000 kematian dini.

Hasil kajian para peneliti dari University of Leeds ini diterbitkan dalam jurnal Nature Communications pada Kamis (2/12/2021). Hasil riset ini diperoleh dengan menganalisis data emisi kebakaran dan tutupan lahan berbasis model satelit.

Peneliti menemukan bahwa restorasi lahan gambut dapat menghasilkan penghematan ekonomi sebesar 8,4 miliar dollar AS untuk kurun waktu 2004-2015.

Saat ini pemerintah Indonesia berkomitmen merestorasi 2,5 juta hektare lahan gambut yang rusak dengan proyeksi biaya 3,2 - 7 miliar dollar AS. Biaya ini jauh lebih kecil dibandingkan dampak kerugian kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 di Indonesia yang mencapai 28 miliar dollar AS.

Studi tersebut menyatakan, jika restorasi telah selesai, area yang rusak karena terbakar pada tahun 2015 akan berkurang sebesar 6 persen, mengurangi emisi Co2 sebesar 18 persen, dan emisi partikel halus(PM2.5)- yang dapat menembus jauh kedalam paru-paru- sebesar 24 persen sehingga bisa mencegah 12.000 kematian dini.

Laura Kiely, peneliti di University of Leeds, mengatakan bahwa terdapat banyak manfaat restorasi gambut dari manfaat lokal berupa berkurangnya kerugian properti, manfaat regional untuk kualitas udara dan kesehatan masyarakat, hingga global dari pengurangan emisi CO2.

Sebaliknya, kerusakan lahan gambut dapat memicu kebakaran, merusak lahan pertanian serta menggangu transportasi, pariwisata dan perdagangan. Kebakaran juga menghasilkan emisi Co2 yang besar.

Studi ini juga menyoroti pentingnya jumlah luas lahan yang direstorasi dan di mana restorasi terjadi. Disebutkan restorasi harus ditargetkan di area yang telah terbukti paling rentan terhadap kebakaran di masa lalu.

Lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 57 gigaston karbon, atau sekitar 55 persen karbon lahan gambut tropis dunia.

Prosentase besar lahan gambut dunia yang dimiliki Indonesia ini, jelas ada manfaat di seluruh dunia untuk memulihkan dan menjaga lahan gambut di Indonesia.

Alasan-alasan ilmiah dari riset yang dikemukakan di atas, semakin memperkuat pentingnya upaya pemerintah Indonesia tidak hanya untuk memulihkan dan merestorasi gambut yang rusak, tetapi juga meneguhkan akan moratorium permanen hutan primer rawa gambut menjadi mutlak, penting dan diperlukan tidak hanya untuk masyarakat Indonesia, tetapi juga kepentingan umat manusia di bumi ini.

Klaim tentang keberhasilan restorasi gambut yang dilakukan oleh pemerintah seperti dilontarkan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada Workshop Succes Story Restorasi Ekosistem Gambut di Jakarta, Rabu, 19 Juni 2024, nampaknya perlu diuji kembali kesahihannya (validitas).

Wamen Alue Dohong menyebut KLHK telah berhasil memulihkan ekosistem gambut di dalam areal konsesi seluas 3,9 juta hektare, di mana 2,3 juta hektare berada di lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan 1,6 juta hektare berada di lahan perkebunan.

Sebanyak 30.404 unit sekat kanal telah dibangun dan ada 10.838 Titik Penaatan tinggi muka air tanah (TMAT). Sementara luas areal pemulihan gambut yang berada di lahan masyarakat mencapai 52.430 hektare.

Selain itu, ada juga restorasi gambut yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang luasnya telah mencapai 1,6 juta hektare.

Indonesia merupakan negara pemilik gambut tropis terluas di dunia mencapai 13,4 juta hektare.

Di lain pihak, dalam laporan “Gelisah di Lahan Basah: Korporasi, Pemerintah dan Semua Komitmen Kosong Restorasi Gambutnya“ (Kompas, 1/8/2024), menyebut upaya restorasi gambut hingga 2 juta hektare memang mencapai target yang ditetapkan.

Namun, pengawasan dan perawatan infrastruktur restorasi gambut masih belum optimal. Pantau Gambut menemukan 54 dari 77 sekat kanal atau sekitar 70 persen sekat kanal dalam kondisi rusak atau kurang perawatan.

Kerusakannya seperti TMAT lebih dari 40 cm, kemudian ada sekat kanal yang jebol dan ditutupi semak belukar.

Selain itu, 95 persen dari 289 titik sampel gambut nonkonsesi di area restorasi pemerintah yang pernah terbakar dan kehilangan tutupan pohon telah berubah menjadi perkebunan jenis tanaman lahan kering serta semak belukar.

Kelapa sawit menjadi komoditas paling dominan di lahan bekas terbakar tesebut. Di area konsesi perusahaan tercatat hanya 1 persen dari 240 titik sampel yang kembali menjadi hutan, meski pernah terbakar dan mengalami kehilangan tutupan pohon.

Kondisi tersebut terjadi di beberapa area perusahaan di Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan yang sering memiliki masalah konflik sosial dengan masyarakat.

Pemulihan gambut dilakukan dengan empat cara: rehabilitasi, suksesi alami, restorasi dan cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Rehabilitasi yang diartikan sebagai revegetasi adalah cara yang paling sulit memulihkan gambut. Cara yang paling mudah dalam pemulihan gambut adalah dengan suksesi alami karena proses pemulihannya diserahkan kepada alam.

Suksesi alami dilakukan terhadap ekosistem gambut berkanal yang telah bersekat dan tidak terdapat gangguan manusia.

Namun cara ini membutuhkan waktu cukup lama. Untuk membantu mempercepat proses pemulihan gambut, restorasi adalah cara yang paling logis dan masuk akal.

Kegiatan restorasi dilakukan untuk menjadikan ekosistem gambut atau bagian-bagiannya berfungsi kembali, melalui pembangunan infrastruktur pembasahan kembali gambut yang meliputi bangunan air, penampungan air, penimbunan kanal dan atau pemompaan air.

Bangunan air itu adalah sekat kanal, embung dan bangunan air lainnya. Rehabilitasi hutan gambut dengan cara revegetasi adalah cara yang paling sulit dalam memulihkan ekosistem rawa gambut. Tingkat keberhasilannya rendah.

Pemulihan lahan gambut yang paling efektif adalah cara gabungan antara restorasi dan suksesi alami.

Salah satu indikator keberhasilan restorasi gambut adalah apabila jumlah titik api (hot spot) berkurang dibanding dengan sebelum kegiatan restorasi.

Dapat dibayangkan apabila sekat kanal atau sumur bor banyak yang rusak dan tidak berfungsi, maka pada musim kemarau panjang, bila terjadi kebakaran bisa dipastikan jumlah titik api akan meningkat dengan tajam.

Klaim pemerintah tentang keberhasilan memulihkan lahan gambut akan dibuktikan kembali pada puncak musim kemarau di September 2024 nanti.

Pelajaran yang berharga yang bisa dipetik bagi kita adalah ketika ekosistem hutan alam gambut primer rusak, maka akan sulit mengembalikan kondisi seperti semula.

Ekosistem Mangrove

Hampir seperempat mangrove dunia yang masih ada – sekitar 14 juta hektare-saat ini berada di Indonesia.

Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dikutip harian Kompas (04/08/2022), menyebut bahwa total luas habitat ekosistem mangrove 4.120263 ha yang terdiri dari habitat ekosistem mangrove yang masih ada (existing) 3.364.080 ha dan potensi habitat mangrove seluas 756.183 ha.

Mangrove exsisting terdiri dari ekosistem mangrove yang lebat (3.121.240 ha), sedang (188.366 ha) dan jarang (54.474 ha).

Sementara itu, potensi habitat mangrove terdiri dari areal terabrasi, lahan terbuka, mangrove terabrasi, tambak dan tanah timbul (akresi).

Mangrove yang secara legal masuk dalam kawasan hutan seluas 2.936.813 ha dan di luar kawasan hutan (areal penggunaan lain/APL) 1.183.449 ha.

Uniknya lagi, dalam kawasan hutan juga dibagi lagi sesuai kawasan fungsinya sebagaimana ekosistem hutan yang berada di daratan, yakni hutan konservasi (HK) 797.109 ha, hutan lindung (HL) 991.456 ha dan hutan produksi (HP) 1.148.248 ha.

Mangrove menyedot perhatian banyak pihak ketika karbon biru diperkenalkan lebih dari satu dekade lalu.

Posisinya unik, yang berada di kawasan pesisir dan menyimpan sejumlah besar cadangan karbon (3-5 kali dari cadangan karbon hutan daratan yang terlebat) membuat mangrove memiliki peran ganda dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Hutan sekunder mangrove mampu menyimpan karbon 54,1 – 182,5 ton karbon setiap hektare. Aksi ganda yang nyata sangat dianjurkan Perjanjian Paris.

Mangrove memiliki potensi besar untuk mengatasi dampak kenaikan muka laut bagi penduduk dan kawasan pesisir yang landai.

Selain itu, bersama-sama dengan hutan gambut, cadangan karbon yang besar di kawasan mangrove merupakan calon utama untuk mencapai target penurunan emisi dalam agenda Nationallity Determined Contributions (NDC) apabila emisi dapat dihindari.

Masalahnya sekarang bagi Indonesia adalah masih banyak kawasan mangrove yang rusak dan perlu untuk direhabilitasi berupa kegiatan penanaman baru (revegetasi).

Habitat mangrove yang telah rusak dan perlu direhabilitasi kembali seluas 756.182 ha yang terdiri terdiri dari mangrove yang rusak dalam kawasan hutan 756.182 ha (HK 48.838 ha, HL 83.732 ha, HP 132.570 ha) dan mangrove yang rusak di areal APL 480.651 ha.

Selain itu, masalah lain (seperti pembiayaan, tata ruang mangrove, regulasi, dan seterusnya) yang menjadi hambatan dalam kegiatan rehabilitasi mangrove, secara simultan harus segera dibenahi untuk mendukung keberhasilan rehabilitasi mangrove ini.

Pernyataan Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Hartono pada acara Mangrove for Future di Jakarta, Jumat (26/7/2024), yang menyebut bahwa “hutan mangrove di Indonesia terancam deforestasi”, tidaklah mengejutkan.

Pasalnya, regulasi yang diharapkan mampu mengatur secara komprehensif dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang telah disiapkan sejak tahun 2022, tak kunjung disahkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP) hingga saat ini.

Ironi memang, di saat pemerintah melalui BRGM sedang giat-giatnya merehabilitasi mangrove seluas 600.000 ha di sembilan provinsi, yang anggarannya sebagian pinjam dari Bank Dunia sebesar 400 juta dollar AS atau hampir Rp 6 triliun, di saat itu pula deforestasi mangrove tetap berjalan terus.

Dilihat dari citra satelit, sepanjang tahun 1980-2010, dalam kurun waktu 30 tahun terjadi deforestasi mangrove yang masif.

Berdasarkan penelitian dari Badan Standardisasi Instrumen (BSI) KLHK, antara 2021-2030 diperkirakan akan terjadi tambahan deforestasi mangrove seluas 299.258 ha, artinya lajunya sekitar 29.000 ha per tahun.

Emisi akibat deforestasi mangrove dapat mencapai 1.000 ton per ha, serta potensi serapan emisi yang hilang dari mangrove yang telah dikonversi adalah 50 ton per hektare per tahun.

Dengan ancaman ini, perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia menjadi sangat krusial.

Pangkal sebab ini semua terjadi karena tata ruang habitat ekosistem mangrove tidak segera diatur dalam regulasi secara komprehensif.

Tata guna lahan mangrove yang diterbitkan oleh KLHK masih mengenal adanya hutan produksi dan areal penggunaan lain (APL).

Dari total luas habitat ekosistem mangrove 4.120263 ha, dikenal adanya hutan konservasi (HK) 797.109 ha, hutan lindung (HL) 991.456 ha, hutan produksi (HP) 1.148.248 ha, dan APL seluas 1.183.449 ha.

Melihat peran strategis habitat ekosistem mangrove yang dimiliki Indonesia sekarang dalam mengendalikan emisi karbon dan menghadapi krisis iklim yang menjadi musuh dunia, maka tata ruang kawasan/hutan mangrove yang ada sekarang sudah tidak revelan lagi dengan tuntutan zaman.

Seharusnya sesuai amanat UU no. 26/2007 tentang tata ruang, kawasan ekosistem hutan mangrove masuk dan ditetapkan sebagai kawasan lindung yang harus dilindungi dari kegiatan deforestasi.

Artinya, semua hutan dan tutupan hutan mangrove yang masih ada (eksisting) tidak boleh lagi dilakukan kegiatan penebangan, baik secara legal apalagi ilegal.

Apa gunanya BRGM dan KLHK merehabilitasi ratusan ribu hektare dan masih belum dapat dijamin tingkat keberhasilan tumbuhnya, sementara laju deforestasi tetap berlangsung.

Tidak hanya regulasi komprehensif yang ditunggu segera terbit dan disahkan, tetapi juga ketegasan pemerintah untuk menekan dan meminimalkan laju deforestasi mangrove di lapangan sangat diharapkan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau