KOMPAS.com - Dalam 1,5 tahun terakhir, banyak perusahaan besar di dunia mulai mundur dari komitmen keberlanjutan mereka, yang terkait dengan lingkungan dan masyarakat.
Pada Juni 2024, misalnya, Tractor Supply Co., perusahaan ritel bidang pertanian, peternakan, dan perawatan hewan peliharaan, mengumumkan penghapusan semua pekerjaan yang berfokus pada keragaman, kesetaraan, dan inklusi, serta menarik kembali target emisi karbonnya.
Padahal sebelumnya, perusahaan ini menargetkan emisi nol bersih pada tahun 2040, serta meningkatkan jumlah manajer dari kelompok minoritas hingga 50 persen.
Baca juga: Tak Kunjung Diterapkan, Pajak Karbon Masih Tunggu Regulasi Pemerintah
Pada minggu yang sama, enam perusahaan minyak terbesar di Kanada menghapuskan target dekarbonisasi dari situs web mereka. Lalu sebulan sebelumnya, Nike mengurangi jumlah manajer keberlanjutan (sustainability) sebagai bagian dari pengurangan biaya.
Tren ini menggambarkan penurunan komitmen perusahaan terhadap berbagai target keberlanjutan, seperti dilansir dari Harvard Business Review, Rabu (28/8/2024).
Beberapa contoh lain, karena kenaikan harga minyak, BP dan Shell mengurangi komitmen mereka untuk menurunkan emisi karbon; produsen sepatu Crocs menunda target emisi nol bersih mereka dari tahun 2030 ke 2040; bahkan Microsoft gagal mencapai target pengurangan karbon akibat pertumbuhan AI.
Baca juga: Green Logistic Bisa Kurangi Emisi Karbon hingga 70 Persen
Sementara, menurut laporan Wall Street Journal (WSJ), perusahaan seperti Coca Cola dan Nestle "menunda" tujuan pengurangan plastik setelah gagal mencapai target pengurangan plastik murni.
Penurunan komitmen terhadap keberlanjutan ini dianggap sebagai langkah yang kurang bijaksana. Namun, apa sebenarnya alasan di balik tren ini?
Meskipun setiap perusahaan memiliki alasan tersendiri, Profesor di Tufts University sekaligus penulis opini, Kenneth P. Pucker, menjelaskan beberapa faktor umum yang menyebabkan penurunan komitmen keberlanjutan perusahaan akhir-akhir ini.
Di barat, kampanye politik anti-ESG atau environmental, social, governance yang dipimpin oleh kelompok konservatif telah meredam antusiasme terhadap prinsip Keragaman, Kesetaraan, Inklusi (Diversity, equity, and inclusion/DEI), keberlanjutan perusahaan, dan investasi ESG.
Baca juga: Berapa Banyak Emisi Karbon yang Dihasilkan Jet Pribadi?
Selain itu, kinerja ekuitas ESG yang lebih rendah dibandingkan dana tradisional telah menyebabkan perpindahan triliunan dolar dari dana ESG, yang membuat perusahaan kurang menekankan hasil ESG.
Kemudian, banyak perusahaan merasa kesulitan membenarkan investasi dalam keberlanjutan, karena manfaatnya sering kali tidak berwujud dan sulit diukur.
Misalnya, berapa nilai yang harus diberikan untuk menghindari kerusakan reputasi akibat investasi dalam audit rantai pasokan? Bagaimana Chief Financial Officer (CFO) seharusnya menghitung nilai penghindaran pajak karbon di masa depan? Atau bagaimana menghitung manfaat rekrutmen dan retensi dari perusahaan yang berkelanjutan?
Selain itu, banyak target yang sejak awal tidak realistis. Banyak perusahaan yang berkomitmen untuk tujuan besar tanpa melakukan pekerjaan utama mereka.
Baca juga: AS Gelontorkan Rp 19,6 Triliun untuk Kembangkan Penangkapan Karbon
"Ketika target awal ditetapkan, kami mungkin meremehkan skala dan kompleksitas yang diperlukan untuk mencapai target keberlanjutan," ujar CEO Unilever Hein Schumacher.
Dengan demikian, menyadari potensi greenwashing, aturan hukum mulai menerapkan undang-undang yang memaksa perusahaan untuk menarik kembali tujuan atau target yang terlalu ambisius.
Misalnya, Kanada baru saja mengesahkan amandemen Undang-Undang yang menargetkan klaim dan tindakan terkait "greenwashing." Sanksi untuk pelanggaran bisa mencapai 10 juta Dollar untuk pelanggaran pertama.
Dengan tantangan-tantangan itu, wajar jika antusiasme terhadap keberlanjutan perusahaan berkurang dan perusahaan menarik kembali janji dekarbonisasi mereka.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya