KOMPAS.com - Lonjakan harga pangan terutama beras, menyebabkan sulitnya kebutuhan gizi masyarakat terpenuhi. Stunting pun menjadi ancaman bagi masyarakat tidak mampu.
Data dari Panel Harga Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIPS) mengungkapkan, pada Februari 2024 harga beras medium Il meningkat tajam sebesar 6,25 persen, atau Rp 900/kg, menjadi Rp 14.250/kg dibandingkan Januari 2024.
Food Monitor Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mencatat, harga pangan pada Pemilu yang berlangsung November 2023 hingga Februari 2024 tercatat 15,41 persen lebih tinggi dibandingkan Februari tahun lalu.
"Kenaikan ini tidak hanya berpotensi meningkatkan angka inflasi, tetapi juga mengancam daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan," ujar Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta dalam keterangannya, Rabu (28/8/2024).
Ia menjelaskan bahwa beban yang ditimbulkan oleh kenaikan harga beras menjadi salah satu pemicu utama meningkatnya biaya hidup.
"Yang pada gilirannya turut menurunkan akses masyarakat terhadap pangan yang sehat dan bergizi," imbuhnya.
Aditya mengatakan, kebijakan perdagangan komoditas pangan, khususnya terkait impor, memainkan peran kunci dalam menentukan keterjangkauan harga pangan.
Namun, saat ini, sistem kuota impor yang diatur oleh pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat memicu praktik monopoli dan menambah harga sejumlah komoditas strategis.
Hambatan non-tarif atau Non-Tariff Measure (NTM) juga terbukti menambah biaya impor, yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen.
NTM adalah bentuk kebijakan perdagangan internasional yang telah diterapkan oleh negara-negara terkait standar mutu dan persyaratan yang berkaitan dengan aspek kesehatan (sanitary).
Menurut temuan studi CIPS, NTM menaikkan harga pangan domestik hingga 67,2 persen di atas harga internasional.
Jika kuota impor dihapuskan, harga beras dalam negeri bisa turun drastis, hanya 8,4 persen lebih tinggi dari harga pasar internasional.
"Dengan demikian, reformasi kebijakan perdagangan sangat diperlukan untuk menurunkan harga pangan, memperbaiki gizi masyarakat, dan membantu pemerintah dalam upaya menurunkan prevalensi stunting di Indonesia," tuturnya.
Oleh karena itu, CIPS merekomendasikan perumusan kebijakan yang lebih inklusif dan efisien untuk membuka akses masyarakat terhadap beragam sumber pangan.
"Kebijakan ini juga perlu mendukung penurunan harga pangan impor dan memastikan stabilitas pasokan dalam negeri, sehingga semua lapisan masyarakat dapat menikmati pangan yang terjangkau dan sehat," ujarnya.
Aditya menilai, penurunan harga pangan melalui penurunan NTM berkorelasi dengan angka kemiskinan. Sebab, sekitar 70 persen pengeluaran masyarakat miskin adalah pengeluaran untuk pangan.
Lebih jauh, pengendalian angka kemiskinan berperan dalam upaya penurunan angka stunting, yang pada saat ini masih menyentuh 21,5 persen penduduk. Angka itu jauh di atas target 14 persen yang ditetapkan pemerintah untuk dicapai pada tahun 2024.
Penurunan angka stunting, kata dia, juga memerlukan penguatan koordinasi antar kementerian dan lembaga dalam upaya untuk menekannya.
"Penanganan stunting membutuhkan intervensi yang bersifat jangka panjang dan tidak taktis untuk menghasilkan perubahan gaya hidup dan perubahan pola konsumsi pangan," pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya