KOMPAS.com - Sukun, tanaman yang berasal dari Pasifik dan banyak tumbuh di Asia Tenggara memiliki peran yang menjanjikan dalam memastikan ketahanan pangan di wilayah tropis dan subtropis yang kemungkinan akan terpengaruh oleh perubahan iklim.
Hasil penelitian yang dipublikasikan di PLOS Climate ini menyebutkan meski perubahan iklim kemungkinan akan berdampak buruk pada sebagian besar tanaman seperti jagung dan gandum, akan tetapi sukun relatif tidak akan terpengaruh karena tahan terhadap iklim.
"Saat kita menerapkan strategi untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, sukun harus dipertimbangkan dalam pendekatan adaptasi ketahanan pangan," kata ilmuwan iklim Daniel Horton, penulis penelitian dan asisten profesor di Universitas Northwestern, AS, seperti dikutip dari Eco-Business, Rabu (28/8/2024).
Baca juga: Pertanian Organik Jadi Kunci Ketahanan Pangan, tapi Hadapi Banyak Tantangan
Sukun telah dikonsumsi dengan cara direbus, dipanggang, atau dicampur dengan makanan lain selama ribuan tahun.
Sukun mengandung banyak serat, vitamin dan mineral. Profil nutrisinya pun mirip dengan gandum atau kentang dan tidak memiliki kekurangan yang dapat berimbas pada kesehatan manusia seperti makanan kaya karbohidrat lainnya.
Lebih dari 200 varietas telah dikembangkan atau berevolusi dari sukun asli yang berasal dari kepulauan Pasifik dan varietas tersebut termasuk varietas tanpa biji yang umum tersedia di pasaran.
"Sukun adalah spesies yang terabaikan dan kurang dimanfaatkan yang ternyata relatif tangguh dalam proyeksi perubahan iklim kita," kata Horton.
Ini adalah berita baik karena beberapa makanan pokok lain yang kita andalkan tidak begitu tangguh. Dalam kondisi yang sangat panas, beberapa tanaman pokok tersebut kesulitan dan hasilnya menurun.
"Sukun sangat cocok ditanam di daerah yang mengalami kerawanan pangan tingkat tinggi," papar Horton lagi.
Nyree Zerega, seorang ilmuwan konservasi di Negaunee Institute for Plant Conservation Science and Action di Chicago Botanic Garden, AS, mengatakan pohon sukun dapat hidup selama puluhan tahun dan menghasilkan banyak buah setiap tahunnya.
Di beberapa budaya, bahkan ada tradisi menanam pohon sukun saat seorang anak lahir untuk memastikannya memiliki makanan selama sisa hidupnya.
Baca juga: Jaga Ketahanan Pangan, Pupuk Indonesia Tegaskan Tetap Salurkan Pupuk Bersubsidi
Meskipun sukun menunjukkan ketahanan yang paling menjanjikan terhadap kondisi iklim di masa mendatang di Asia, penelitian tersebut menunjukkan peluang untuk memperluas budidayanya selama beberapa dekade mendatang di Afrika Sub-Sahara, tempat kerawanan pangan sedang tinggi.
Varietas sukun tertentu yang tumbuh di Afrika yaitu Treculiar africana telah ditemukan lebih unggul daripada yang lain dalam hal morfologi biji, kandungan asam amino, karbohidrat, dan kualitas minyak bijinya.
Dengan pohon yang mencapai ketinggian sembilan hingga 18 meter, sukun Afrika mulai berbuah enam tahun setelah ditanam dan tetap produktif selama lebih dari 50 tahun.
Namun ada beberapa tantangan dalam komersialisasi sukun Afrika yaitu periode kematangan yang panjang, tidak adanya teknologi yang tepat untuk mengupas bijinya, dan kurangnya minat penelitian.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya