KOMPAS.com - Penelitian baru yang dilakukan peneliti dari University of East Anglia, Inggris menemukan fakta bahwa nasib jutaan perempuan yang bekerja di industri perikanan terabaikan.
Temuan ini disimpulkan setelah peneliti secara khusus mengamati industri perikanan pascapanen dan akuakultur, di mana perempuan merupakan 50 persen dari total tenaga kerjanya.
Seperti dikutip dari Phys, Rabu (28/8/2024) meski kontribusi mereka signifikan, perempuan sering kali terabaikan, tidak dibayar atau dibayar namun dengan upah rendah, pekerjaan mereka dianggap sebagai perpanjangan dari pekerjaan rumah tangga.
Perikanan dan akuakultur merupakan sumber mata pencaharian, sekaligus makanan, dan nutrisi yang penting bagi banyak orang termiskin di dunia.
Baca juga: Desa Ramah Anak dan Perempuan Sudah Jadi Kebutuhan
Industri ini secara langsung menghidupi sekitar 67 juta orang di seluruh dunia dan sekitar 492 juta orang secara tidak langsung. Perikanan dan akuakultur juga menyediakan sekitar 17 persen protein hewani untuk konsumsi manusia.
Nitya Rao, Direktur Norwich Institute for Sustainable Development dan juga penulis utama studi menyebut mengingat banyak orang, khususnya perempuan yang terlibat dalam kegiatan pasca panen secara global, studi ini pun berupaya untuk lebih memahami bagaimana teknologi pemrosesan dan perubahan teknis telah memengaruhi mereka yang terlibat dalam sektor ini.
Itu termasuk bagaimana tenaga kerja, sumber daya, kekuasaan, dan pengambil keputusan dipengaruhi dan berubah dalam proses tersebut.
Baca juga: Inovasi Tanaman Obat untuk Perempuan Perlu Dipercepat
Dan dalam konteks perubahan iklim serta tekanan ekonomi lainnya, kita menyaksikan perkembangan pesat teknologi pasca panen untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
Namun, perubahan tersebut tidak mengikutsertakan keadilan sosial sehingga ada risiko bahwa ini dapat memperburuk ketimpangan yang sudah ada selanjutnya dan terus berlanjut.
Di industri perikanan perempuan pun akhirnya dirugikan baik saat penggunaan teknologi tradisional maupun teknologi yang lebih baik. Kerugian tersebut terutama juga dalam hal kendali atas sumber daya.
Perempuan sering kali tidak dapat mengakses manfaat perlindungan sosial termasuk upah minimum, asuransi kesehatan, perumahan, dan transportasi, karena mereka terkonsentrasi di tingkat bawah hierarki tenaga kerja.
Dalam skala yang lebih besar seperti di pabrik yang menggunakan teknologi lebih canggih, kondisinya pun tak jauh berbeda. Perempuan cenderung memiliki status yang lebih rendah seperti mengalami kesenjangan upah gender, kurangnya akses ke hal pekerja, dan terpapar bahaya kesehatan kerja.
Baca juga: Hapus Diskriminasi terhadap Perempuan Perlu Sinergi Semua Pihak
"Pangan akuatik merupakan komponen utama sistem pangan global kita dan permintaan akan produk diperkirakan akan meningkat. Keberlanjutan makanan ini tidak hanya bergantung pada jejak lingkungan dan ekonominya tetapi ekuitas sosialnya," tambah Julie Bremner dari Pusat Ilmu Lingkungan, Perikanan, dan Akuakultur Inggris.
Studi ini pun memberikan rekomendasi untuk pembuat kebijakan. Salah satunya adalah berbagai suara, khususnya perempuan harus mendapat tempat dalam pembuatan kebijakan dan keputusan investasi seputar proses industri perikanan baik ditingkat lokal, nasional, dan global.
Di sisi lain, penelitian yang lebih komparatif diperlukan untuk mengetahui dampak teknologi pada berbagai kelompok, termasuk perempuan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya