KOMPAS.com - Perubahan iklim membuat cuaca menjadi semakin panas dan basah. Kombinasi kondisi tersebut ternyata juga berdampak pada hal lain: peningkatan penyakit yang ditularkan nyamuk.
Nyamuk berkembang biak ketika ada banyak air di sekitar untuk bertelur dan suhu hangat membantu keturunannya tumbuh subur.
Serangga itu sendiri sebenarnya tidak menjadi masalah. Yang jadi problem adalah virus, bakteri, dan parasit yang mereka bawa.
Mengutip Science News, Kamis (29/8/2024) 2024 sendiri merupakan rekor tahun dengan kasus demam berdarah yang terparah.
Salah satu wilayah yang terdampak paling parah adalah Benua Amerika, dengan lebih dari 10 juta kasus yang terdokumentasi hingga 21 Agustus 2024.
Jumlah tersebut kira-kira 94 persen dari 11,5 juta kasus yang tercatat di seluruh dunia.
Baca juga: 466 Juta Anak Terancam Panas Ekstrem karena Perubahan Iklim
Kasus-kasus di Benua Amerika sendiri juga lebih dari dua kali lipat rekor global sebelumnya yaitu 5,3 juta kasus pada tahun 2023 lalu.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, perubahan iklim, El Niño, urbanisasi, dan jumlah orang yang rentan terhadap virus tersebut mungkin berperan dalam wabah besar tersebut.
Misalnya, El Niño menyebabkan hujan lebat di beberapa bagian dunia dan kekeringan di bagian lain.
Bahkan kekeringan dapat menimbulkan risiko karena A. aegypti adalah nyamuk perkotaan yang tidak memiliki masalah dalam bertelur di wadah yang menyimpan air di sekitar rumah.
Dan kota-kota yang padat berarti lebih banyak orang di sekitar yang dapat digigit dan menularkan.
Penularan dari Nyamuk yang Makin Umum
Peningkatan suhu juga telah meningkatkan penularan demam berdarah sekitar 18 persen di Amerika dan Asia, dibandingkan ketika dunia tanpa pemanasan.
Penularan penyakit dari nyamuk ini juga dapat meningkat lebih banyak lagi pada tahun 2050, menjadi 40 hingga 57 persen lebih tinggi secara rata-rata daripada tanpa perubahan iklim.
Baca juga: DBD Masih Jadi PR di Indonesia, Nyamuk Dengue Perlu Dikendalikan
Peneliti memperkirakan bahwa virus yang ditularkan nyamuk lainnya seperti West Nile dan chikungunya juga akan lebih umum terjadi seiring dengan perubahan iklim.
Patogen lain seperti penyakit parasit malaria juga dapat memengaruhi lebih banyak orang saat suhu menghangat.
Kutu, di sisi lain, hidup lebih lama daripada nyamuk, sehingga mereka kurang rentan terhadap perubahan cuaca jangka pendek seperti hujan lebat atau gelombang panas.
Namun, musim dingin yang menghangat membantu lebih banyak larva kutu bertahan hidup hingga musim semi yang berarti populasi yang lebih besar untuk menyebarkan penyakit.
Contohnya Kutu rusa (Ixodes scapularis), yang dapat membawa bakteri penyebab penyakit Lyme, perlahan-lahan memperluas jangkauannya ke utara sehingga menempatkan lebih banyak orang pada risiko terpapar.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya