KOMPAS.com - Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu permasalahan kesehatan dunia. Khususnya di negara-negara tropis dengan aedes aegypti sebagai vektor (hewan penular).
Spesies ini populer karena selain dengue, juga membawa beberapa penyakit lain seperti chikungunya, yellow fever, dan zika.
Professor School of Life Sciences and Technology Institut Teknologi Bandung (ITB) Intan Ahmad mengungkapkan penyakit DBD di Indonesia pertama kali ditemukan pada 1968 di pulau Jawa.
Baca juga: Kemenkes: Perubahan Iklim Sebabkan Kasus DBD Naik di RI
Ia menyebut situasi kasus DBD di Indonesia dari tahun 1968 hingga 2024 mengalami fluktuasi. Namun, kasus kematiannya termasuk cukup tinggi.
"Situasi hingga saat ini masih fluktuatif, meski sudah dilakukan pengendalian vektor dengan berbagai cara atau metode," ujar Ahmad saat Webinar Nasional Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis bertajuk “Perkembangan Terkini Pengendalian Vektor Dengue di Indonesia”, Rabu (8/5/2024).
Meski berbagai upaya pengendalian sudah dilakukan, tetapi populasi nyamuk tetap tinggi dan dengue tetap menjadi masalah yang serius.
Sejak 1970, beberapa metode pengendalian telah dilakukan, antara lain insektisida yakni fogging, ULV, residual, larvasida. Lalu, gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) hingga menguras, menutup, dan mengubur (3M). Namun, kasus DBD masih tinggi karena sejumlah faktor.
Baca juga: Ada 60.296 Kasus DBD dan 455 Kematian, Ini 5 Wilayah Tertinggi
"Kita dikaruniai tinggal di daerah tropis. Sehingga iklim lembap dan banyak hujan, ini amat ideal untuk nyamuk," imbuh Ahmad.
Tantangan lain, termasuk banyaknya pulau sehingga sulit diberantas. Lalu urbanisasi, waste management kurang baik, kepadatan permukiman, banyak air tergenang, hingga kurangnya kepedulian dan partisipasi masyarakat.
Sementara itu, Peneliti Ahli Muda, Kelompok Riset Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis pada Manusia Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Beni Ernawan menyebut ada dua cara mengendalikan dengue.
Pertama adalah desain vaksin atau obat. Kemudian kedua, dengan pengendalian vektor atau nyamuk.
Baca juga: Waspada DBD Meski Cuaca Panas Akibat Fenomena El Nino
Untuk vaksinasi, saat ini sudah ada beberapa kandidat vaksin, namun masih dalam tahap uji-uji efikasi dan belum digunakan secara luas.
Sehingga, pengendalian vektor atau nyamuk masih merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Beni menyebut, pengendalian dengue mengacu pada stranas pengendalian dengue tahun 2021-2025. Serta, banyak metode yang harus bersinergi mulai dari manajemen survilens, pelibatan masyarakat, manajemen vektor, hingga akses tata laksana denguenya.
‘’Komitmen dari semua stakeholder dan tentunya kami sebagai peneliti harus berkontribusi tentang pengembangan kajian metode yang efektif dalam mengendalikan dengue salah satunya yaitu pengendalian teknik serangga mandul (TSM),’’ beber Beni.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya