Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tantangan Energi Terbarukan di Perikanan, Kurangnya Pemahaman Nelayan

Kompas.com - 31/08/2024, 14:50 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan ada dampak emisi dari bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan oleh nelayan tradisional, utamanya terhadap kerusakan lingkungan dan ekosistem laut. 

Oleh karena itu, opsi penggunaan energi terbarukan (EBT) mulai muncul. Namun, salah satu hal yang masih menjadi tantangan adalah penolakan yang muncul dari sebagian besar masyarakat setempat.

“Penggunaan energi terbarukan di tiap usaha sektor perikanan menjadi tantangan tersendiri. Apalagi mayoritas nelayan masih belum paham dengan energi terbarukan," ujar Ketua Umum KNTI Dani Setiawan, dalam diskusi publik bertema “Implementasi Energi Terbarukan pada Nelayan Kecil dan Tradisional di Indonesia", Kamis (29/8/2024). 

Baca juga: Berapa Banyak Emisi Karbon yang Dihasilkan Jet Pribadi?

Selain itu, kata dia, ketidakpastian akses BBM subsidi bagi nelayan kecil juga menyebabkan opsi penggunaan energi terbarukan semakin dilirik.

Menurutnya, nelayan tradisional sudah sejak lama mengalami kesulitan untuk mengakses BBM, khususnya BBM subsidi.

“Bahkan berdasarkan survey KNTI tahun 2021, sebanyak 82 persen nelayan kecil tidak dapat mengakses BBM subsidi, padahal 70 persen biaya melaut adalah untuk pembelian bahan bakar," imbuh dia. 

Oleh karena itu, ia menilai bahwa pemerintah harus lebih tegas dalam menggalakkan transisi energi khususnya di sektor perikanan, di samping menyelesaikan persoalan akses. 

Perlu edukasi kepada nelayan

Sementara itu, organisasi internasional yang fokus pada pendanaan energi bersih, New Energy Nexus, menilai pentingnya pengembangan kapasitas para nelayan untuk mengatasi tantangan tersebut. 

Senior Program Associate, New Energy Nexus Indonesia, Kevin Lieus mengatakan bahwa selain pengembangan kapasitas, pengenalan teknologi energi bersih juga harus dilakukan kepada para nelayan tradisional. 

“Jangan anggap proses implementasi penggunaan energi bersih seperti lari sprint tetapi anggap seperti marathon yang lama. Selain itu, diperlukan pendekatan yang tepat guna dan efektif, bukan semata-mata karena ini teknologi keren," ujar Kevin.

Baca juga: Green Logistic Bisa Kurangi Emisi Karbon hingga 70 Persen

Terlepas dari ketidaktahuan nelayan dengan energi terbarukan, KNTI menilai mereka mulai belajar dan beradaptasi untuk melakukan efisiensi penggunaan BBM.

Pengurus harian KNTI, Widya Kartika mengatakan bahwa KNTI telah mendorong anggotanya untuk memiliki peta penangkapan ikan, sehingga secara berkala dapat mengetahui perbandingan antara jarak lokasi tangkapan dengan konsumsi BBM.

“Penggunaan fishing ground dapat menghemat penggunaan BBM," terang Widya, dalam keterangannya. 

Baca juga: KLHK: Nilai Ekonomi Karbon Penting untuk Turunkan Emisi 

Dalam kesempatan yang sama, Analis Kebijakan, Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM Urip Priyono menyebutkan bahwa saat ini, transisi energi ke energi terbarukan merupakan sebuah keharusan.

“Kerja sama dan partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pengembangan sumber daya manusia, diperlukan untuk mencapai transisi energi yang adil dan memenuhi tujuan mitigasi perubahan iklim," pungkas Urip.

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau