KOMPAS.com - Implementasi keberlanjutan terbukti membawa keuntungan besar bagi perusahaan yang menerapkannya.
Hal tersebut disampaikan business leader, campaigner, dan co-author Net Positive Paul Polman dalam Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Jumat (6/9/2024) yang dipantau secara daring.
Polman mengakui, transisi untuk menuju ekonomi keberlanjutan memang tidaklah mudah. Akan tetapi, hal tersebut memberikan keuntungan yang besar.
Baca juga: Berdayakan UMKM, Cara Perkuat Keberlanjutan di Indonesia
Dia mencontohkan, perusahaan-perusahaan yang mengintegrasikan keberlanjutan dalam inti strategi bisnisnÿa dapat menghasilkan profit 50 persen lebih besar dari pada kompetitor.
Begitu juga dengan transisi energi yang dilakukan perusahaan. Dengan bertransisi energi, perusahaan selain bisa menurunkan emisi juga bisa memberikan keuntungan lanjutan.
"500 perusahaan yang mengurangi emisinya setiap tahun menghasilkan penambahan profit tahunan," kata Polman.
Dia menuturkan, implementasi keberlanjutan sangat penting sebagai upaya untuk melawan perubahan iklim yang semakin parah.
"Saya yakin, semakin besar tantangannya akan semakin besar pula peluangnya," ujar Polman.
Baca juga: Alasan Perusahaan Besar di Dunia Mundur dari Komitmen Keberlanjutan
Implementasi keberlanjutan juga perlu diterapkan di level pemerintahan.
Karena pentingnya keberlanjutan tersebut, Polman menuturkan sudah semakin banyak negara yang menyadari bahwa dekarbonisasi menghasilkan dampak ekonomi yang besar.
Dia mempaparkan, sebanyak tujuh negara telah sepenuhnya bergantung terhadap energi terbarukan seperti panas bumi, energi air, energi surya, dan angin.
Selain itu, 47 negara diprediksi dapat memenuhi Perjanjian Paris untuk mencegah suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius.
Baca juga: Membangun Komitmen Kepemimpinan Keberlanjutan
Diberitakan Kompas.com sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa menyatakan, dunia usaha wajib mengubah paradigma dari yang semula mengejar pertumbuhan ekonomi semata menjadi fokus pada aspek keberlanjutan.
Aspek keberlanjutan tersebut mencakup lingkungan, sosial, dan tata kelola atau environmental, social, and governance (ESG).
Berdasarkan Global Investor Survey 2023, 75 persen investor telah menerapkan ESG, yakni konsep yang mengedepankan kegiatan pembangunan, investasi, maupun bisnis secara berkelanjutan sesuai kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Perubahan paradigma ini dinilai tidak lepas dari upaya dunia memitigasi dampak perubahan iklim akibat kenaikan emisi gas rumah kaca.
"ESG sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang diinisiasi UN (United Nations atau PBB) sejak 2015 untuk mengakhiri kelaparan, melindungi bumi, dan mewujudkan kesejahteraan," kata Soeharso, sebagaimana dilansir Antara, Rabu (3/7/2024).
Baca juga: Hari Ini KG Media Gelar Lestari Summit 2024, Dorong Keberlanjutan dan Inklusivitas
Peluang untuk mendapatkan investasi global terkait ESG terbuka lebar dengan adanya Principles for Responsible Investment (PRI) yang didukung oleh PBB.
Total nilai pasar atau Asset Under Management (AUM) dari PRI sampai 2021 mencapai 121,3 triliun dollar Amerika Serikat (AS) atau meningkat hampir dua kali lipat sejak 2016.
"Berdasarkan data PricewaterhouseCoopers (PwC), banyak investor yang tertarik untuk mendanai sektor energi, pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan karena urgensi dari perubahan iklim dan isu-isu lingkungan global," ujar dia.
Menurut Suharso, ekonomi hijau yang mengandung aspek keberlanjutan akan menjadi mesin pendorong transisi menuju pertumbuhan berkelanjutan melalui transisi energi terbarukan.
Baca juga: Studi IBM: Keberlanjutan Jadi Kunci Keberhasilan Bisnis
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya