“Conservation violence commonly infringes on an interrelated set of human rights, constituting a principal threat to both Indigenous Peoples and the environment”, Colin Louma (2023), Lecturer in Law in Brunel University London.
PADA 14 Agustus 2024, Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, menjatuhkan hukuman penjara selama dua tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar kepada Ompu Umbak Siallagan, yang juga dikenal sebagai Sorbatua Siallagan, seorang Ketua Komunitas Adat.
Jika Sorbatua tidak mampu membayar denda tersebut, ia akan menjalani tambahan hukuman kurungan selama enam bulan.
Vonis ini menjadi kado pahit di bulan kemerdekaan bagi masyarakat adat, khususnya bagi Komunitas Adat di Huta Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun.
Kasus ini berakar pada tuduhan perusakan dan penguasaan lahan yang diduga dilakukan oleh Sorbatua.
Lahan tersebut merupakan bagian dari konsesi yang dipegang oleh PT Toba Pulp Lestari, perusahaan besar di sektor industri pulp dan kertas.
Konflik antara perusahaan besar dan masyarakat adat sudah lama terjadi di Indonesia, dengan masyarakat adat sering kali berada di posisi dirugikan, meskipun tanah yang mereka pertahankan adalah tanah adat yang mereka kelola selama berabad-abad.
Sejarah konflik semacam ini mencerminkan ketimpangan kekuasaan antara kepentingan korporasi dan hak-hak masyarakat adat.
Kasus Sorbatua bukan satu-satunya. Pada April 2024, seorang pegiat lingkungan dari Karimunjawa, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, juga dijatuhi hukuman penjara selama tujuh bulan oleh Pengadilan Negeri Jepara, Jawa Tengah.
Daniel dihukum karena aksinya memperjuangkan kelestarian lingkungan di Karimunjawa, kawasan yang terkenal dengan keanekaragaman hayati lautnya.
Meskipun hukumannya lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta sepuluh bulan, vonis ini tetap menciptakan preseden buruk bagi pejuang lingkungan di Indonesia.
Apa yang menimpa Sorbatua dan Daniel dengan jelas memperlihatkan ironi yang melekat dalam sistem hukum di Indonesia.
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) secara eksplisit menyebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat diproses secara pidana maupun digugat secara perdata.
Berdasarkan ketentuan ini, Sorbatua dan Daniel seharusnya mendapatkan perlindungan hukum yang memadai, bukan justru menjadi objek kriminalisasi.
Namun dalam kenyataannya, mereka malah menjadi korban dari ketidakadilan hukum yang sering kali lebih berpihak pada kepentingan korporasi besar dibandingkan hak masyarakat adat dan lingkungan.
Kasus Sorbatua, misalnya, bermula dari keinginannya untuk mempertahankan tanah adat yang selama ini dikelola komunitasnya dari ancaman eksploitasi perusahaan.
Sebagai seorang pemimpin masyarakat adat, Sorbatua memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga dan melestarikan tanah warisan leluhurnya agar tidak digusur atau dialihfungsikan oleh pihak-pihak komersial yang berkepentingan.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, sistem hukum formal yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat adat kini malah menjadi alat yang digunakan untuk menekan dan menindas mereka.
Daniel, yang merupakan seorang aktivis lingkungan, menghadapi permasalahan yang tidak jauh berbeda.
Meski tindakannya berfokus pada pelestarian keanekaragaman hayati di Karimunjawa, perjuangannya malah dipandang sebagai tindakan melanggar hukum.
Situasi ini menggambarkan bahwa di Indonesia, upaya melindungi lingkungan sering kali membawa risiko kriminalisasi, meskipun upaya tersebut sangat penting di tengah semakin gentingnya ancaman terhadap ekosistem.
Ironi ini semakin jelas ketika di saat yang sama, perlindungan terhadap lingkungan justru harusnya diperkuat, bukan diberangus.
Lebih jauh, masyarakat adat di Indonesia secara internasional dapat dikategorikan sebagai indigenous peoples yang dilindungi oleh Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat yang disahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2007.
Hak-hak mereka juga diakui secara resmi dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob).
Dalam konteks ini, hak atas tanah adat tidak bisa dipisahkan dari hak-hak lain yang juga melekat pada masyarakat adat, seperti hak atas perumahan, hak untuk menjaga identitas budaya, dan bahkan hak perempuan di dalam komunitas adat tersebut.
Terdapat dua hak utama yang dimiliki masyarakat adat, yakni hak untuk menentukan nasib sendiri (right to self-determination) dan hak atas tanah serta sumber daya alam (right to land and natural resources).
Kedua hak ini sangat krusial karena mereka menjadi landasan bagi kelangsungan hidup dan budaya masyarakat adat.
Kovenan Ekosob Pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa "setiap bangsa memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri". Sementara Pasal 2 ayat 2 menggarisbawahi bahwa setiap bangsa memiliki hak untuk mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka dengan bebas.
Hak-hak ini diperkuat lagi oleh Resolusi Majelis Umum PBB 1803 (XVII) tahun 1962, yang menyatakan bahwa setiap bangsa memiliki kedaulatan permanen atas sumber daya alam mereka.
Di tingkat nasional, hak-hak masyarakat adat dijamin dalam UUD 1945, khususnya Pasal 18B ayat 2 yang menyatakan bahwa negara menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional mereka, asalkan selaras dengan perkembangan zaman.
UUD 1945 Pasal 28I ayat 3 juga mengakui dan menghormati identitas budaya serta hak masyarakat tradisional, yang harus dilindungi seiring dengan perkembangan peradaban.
Perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat ini juga diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Di dalamnya, Pasal 6 secara khusus menegaskan bahwa perbedaan dan kebutuhan masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi, termasuk hak atas tanah ulayat yang mereka miliki.
Hal ini menggarisbawahi pentingnya perlindungan bagi masyarakat adat di tengah-tengah upaya pembangunan yang sering kali mengabaikan hak-hak mereka.
Meskipun situasi tampak suram, ada secercah harapan yang muncul dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 10 Tahun 2024. Aturan ini dirancang untuk memperkuat perlindungan bagi pejuang lingkungan hidup.
Pasal 2 ayat 1 dari Permen LHK tersebut menyatakan bahwa orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Artinya, mereka yang memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat, baik sebagai pelapor maupun korban pencemaran, tidak seharusnya dikriminalisasi.
Beleid ini menambah lapisan perlindungan yang sudah ada, seperti Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1 Tahun 2023 dan Pedoman Jaksa Agung (JA) Nomor 8 Tahun 2022, yang keduanya menekankan pentingnya penghentian perkara lingkungan hidup sedini mungkin.
Namun, tantangan terbesar tetap ada pada implementasi peraturan tersebut. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bekerja keras untuk memastikan bahwa undang-undang dan peraturan yang ada benar-benar diterapkan dengan adil dan konsisten.
Tanpa adanya pengawasan dan penegakan hukum yang efektif, kebijakan-kebijakan tersebut hanya akan menjadi dokumen di atas kertas.
Masyarakat adat dan aktivis lingkungan juga memerlukan dukungan yang lebih besar dari organisasi masyarakat sipil dan lembaga non-pemerintah. Mereka harus memastikan bahwa suara mereka didengar dan hak-hak mereka dihormati.
Di sisi lain, pemerintah perlu menunjukkan komitmen lebih kuat dalam melindungi hak-hak masyarakat adat dan pejuang lingkungan hidup.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya