KOMPAS.com - Studi World Resources Institute (WRI) mengungkap bahwa perubahan iklim memperpanjang periode transmisi arbovirus, virus pembawa penyakit yang ditularkan lewat vektor arthropoda, salah satunya nyamuk.
Dalam konteks Indonesia dan banyak negara tropis, hal tersebut berpotensi meningkatkan kerentanan warga pada penyakit-penyakit yang kini sudah menjadi beban, seperti demam berdarah dengue (DBD) dan chikungunya.
WRI menyebut, jika suhu Bumi meningkat sebesar 3 derajat Celsius, maka periode transmisi arbovirus di kota-kota Indonesia bisa mencapai 277 hari. Dengan kata lain, 9 bulan dalam tiap tahunnya warga kota-kota di Indonesia dibayangi risiko DBD.
Dalam studi, WRI melakukan serangkaian pemodelan untuk melihat hari terpanas yang mungkin dicapai, periode kekeringan per tahun, periode optimal penularan malaria, periode optimal penularan arbovirus, dan indikator lainnya.
WRI melakukan pemodelan dengan tiga skenario peningkatan suhu Bumi, yaitu 1,5; 2; dan 3 derajat Celsius. Untuk menentukan periode transmisi arbovirus, WRI melihat rentang suhu optimal pertumbuhan vektor pembawanya.
Dua vektor utama yang dilihat oleh WRI adalah Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Saat ini diketahui bahwa dua spesies nyamuk itu merupakan pembawa penyakit DBD, zika, chikungunya, dan yellow fever.
Ted Wong, pimpinan tim peneliti WRI kepada Kompas.com pada Selasa (24/9/2024) mengatakan, "Kami menemukan bahwa dengan kenaikan 3 derajat Celsius, kota-kota besar di Indonesia bisa menghadapi kenaikan periode transmisi arbovirus sebanyak 43 hari dibanding 1,5 derajat."
Ia menerangkan, dengan skenario kenaikan 1,5 derajat Celsius - yang kemungkinan besar akan terjadi dalam waktu dekat - periode transmisi sudah mencapai 234 hari atau lebih dari 6 bulan. Dengan kenaikan sebesar 3 derajat, lamanya periode transmisi mencapai 277 hari.
WRI menyebut ada tiga kota di Indonesia yang akan mengalami kenaikan periode transmisi arbovirus terbesar. Kota-kota itu adalah Yogyakarta (273 hari), Jember (151 hari), serta Padang (148 hari).
Bersama dengan bencana hidrometeorologi yang berpotensi lebih sering terjadi serta ancaman tenggelamnya beberapa wilayah karena kenaikan muka air laut, penyakit arbovirus berpeluang menambah beban kesehatan dan ekonomi negara.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut, dalam rentang waktu 2020 - 2024, beban negara akibat DBD saja sudah mencapai Rp 31 triliun. Potensi kerugian naik apabila suhu naik dan digabungkan dengan penyakit arbovirus lainnya.
Langkah inovatif penanggulangan DBD telah dilakukan, salah satunya penggunaan bakteri Wolbachia. Bakteri yang diinokulasikan dalam tubuh nyamuk dan diturunkan secara vertikal ke anakannya itu akan menghambat perkembangan arbovirus sehingga bisa menekan kasus DBD.
Prof Adi Utarini dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada yang meneliti pemakaian Wolbachia untuk pengendalian DBD di Indonesia mengatakan bahwa riset selama ini dilakukan dengan beragam strain bakteri.
Strain bakteri yang digunakan di Indonesia dan Vietnam sama, yaitu wMel. "Pada suhu sangat ekstrem di Meksiko, peneliti menggunakan strain berbeda (Wb-redaksi)," kata Utarini kepada Kompas.com saat dihubungi Rabu (25/9/2024).
Riset di Yogyakarta oleh Utarini yang dipublikasikan di New England Journal of Medicine pada 2021 menunjukkan, pendekatan tersebut mampu menekan angka DBD hingga 77 persen dan menurunkan angka rawat inap hingga 86 persen.
Namun, riset yang dilakukan oleh Valerie N Vasquez dari University of California di Berkeley dan dipublikasikan di Nature Climate Change pada 2023 menunjukkan, pendekatan Wolbachia bisa menemui tantangan ketika berhadapan dengan perubahan iklim.
Nasquez dalam publikasinya menyatakan, "Kami menyimpulkan bahwa teknologi ini secara umum ampuh dalam perubahan iklim jangka pendek (hingga sekitar 2030). Pemanasan yang semakin cepat akan menjadi tantangan pada pendekatan ini pada 2050 dan setelahnya."
Dia menambahkan, risetnya pun masih didasarkan pada profil temperatur sebelum 2006. Artinya, riset tersebut masih berdasarkan skenario terbaik, belum mempertimbangkan kenaikan suhu dan bencana hidrometeorologi signifikan dalam rentang 2006 hingga saat ini.
Ted Wong menuturkan, hasil risetnya bertujuan memberi peringatan kepada para pengambil kebijakan bahwa pemanasan Bumi akan terus berlanjut jika praktik tak ramah lingkungan masih terus dilakukan.
Kesepakatan Paris pada 2015 telah mengajak negara-negara di dunia untuk mencegah kenaikan suhu Bumi 1,5 derajat Celsius. Namun, kompleksitas kepentingan tiap negara membuat target tersebut sulit tercapai. "Fokus kita harus mencegah Bumi memanas hingga 3 derajat Celsius," katanya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya