Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 26 September 2024, 08:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Sektor swasta termasuk perusahaan multinasional membutuhkan adanya opsi suplai listrik yang beragam sehingga bisa lebih leluasa dalam memilih energi terbarukan.

Hal tersebut disampaikan Director of Government and Public Affairs Nike Indonesia Devi Kusumaningtyas dalam webinar bertajuk Urgensi dan Akselerasi Pengembangan Energi Terbarukan Melalui Pemanfaatan Bersama Jaringan (Power Wheeling) yang diselenggarakan Institute for Essential Services Reform (IESR), Rabu (25/9/2024).

Devi menyampaikan, 70 persen listrik yang dipasok untuk pabrik produksi, baik rekanan maupun milik Nike Indonesia, berasal dari energi terbarukan.

Baca juga: Kerja Sama dengan China, Indonesia Bisa Jadi Hub Manufaktur Energi Terbarukan

Pemanfaatan tersebut dibuktikan dengan sertifikat energi terbarukan atau Renewable Energy Certificate (REC) dari PLN.

Selain itu, sekitar 5 persen pasokan listrik untuk produksi produk Nike di Indonesia berasal dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap.

Akan tetapi, menurutnya capaian tersebut belumlah cukup. Sebagai perusahaan internasional yang tergabung dalam aliansi RE100, Devi menuturkan Nike berkomitmen memakai energi terbarukan 100 persen pada 2050.

Di sisi lain, pasar semakin menuntut produk yang semakin ramah lingkungan untuk seluruh rantai produksinya.

Baca juga: Jaringan Listrik Lintas ASEAN Penting Penetrasi Energi Terbarukan

"Kami dikejar target. Sayangnya pilihan kami (untuk suplai listrik) sangat terbatas. Kami berharap ke depan ada solusi untuk membuka opsi," kata Devi.

Menurutnya, hal yang penting direalisasikan adalah perusahaan bisa bernegosiasi langsung dengan produsen listrik.

Dengan demikian, harga jual-beli listrik bisa cocok satu sama lain dan konsumen listrik bisa meningkatkan bauran energi terbarukannya.

Menurutnya, dengan semakin sadarnya pelanggan mengenai krisis iklim, tuntutan untuk membuat rantai pasok produk yang semakin hijau menjadi semakin penting.

Baca juga: Teknologi Elektrolit Diklaim Bisa Tingkatkan Penyimpanan Energi Terbarukan

"Ke depan pemenang kompetisi global bukan hanya kompetitif dalam menghadapi pasar global," ucap Devi.

Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR Deon Arinaldo mengungkapkan, kebutuhan industri terhadap energi terbarukan meningkat seiring dengan tuntutan pasar internasional dengan berbagai kebijakan pengetatan emisinya.

Tuntutan tersebut mengisyaratkan, kebutuhan energi terbarukan bakal semakin meningkat dalam waktu dekat.

Menurutnya, pemerintah perlu menyediakan solusi untuk menjawab kebutuhan tersebut.

Baca juga: Jemput Energi Terbarukan, PLN Bakal Integrasikan Transmisi Lintas Pulau

Pasalnya, pengembangan energi terbarukan di Indonesia cenderung lambat dan tren target bauran energi terbarukan belum juga tercapai.

"Kepastian akan akses yang luas terhadap energi terbarukan perlu segera disediakan untuk menjawab kebutuhan industri, baik melalui power wheeling atau mekanisme lainnya," papar Deon

Sementara itu, Executive Vice President (EVP) Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PT PLN Warsono menyampaikan dari aspek hukum, skema power wheeling bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

Dia menuturkan, skema power wheeling atau sewa jaringan listrik dimungkinkan sepanjang dilakukan untuk melayani konsumen di wilayahnya sendiri, bukan di wilayah usaha entitas lain.

Baca juga: Cetak Sejarah, 50 Persen Listrik Eropa Dipasok Energi Terbarukan

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Mengapa Anggaran Perlindungan Anak Harus Ditambah? Ini Penjelasannya
Mengapa Anggaran Perlindungan Anak Harus Ditambah? Ini Penjelasannya
LSM/Figur
Banjir di Sumatera, Kemenhut Beberkan Masifnya Alih Fungsi Lahan
Banjir di Sumatera, Kemenhut Beberkan Masifnya Alih Fungsi Lahan
Pemerintah
Limbah Plastik Diprediksi Capai 280 Juta Metrik Ton Tahun 2040, Apa Dampaknya?
Limbah Plastik Diprediksi Capai 280 Juta Metrik Ton Tahun 2040, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Koperasi Bisa Jadi Kunci Transisi Energi di Masyarakat
Koperasi Bisa Jadi Kunci Transisi Energi di Masyarakat
LSM/Figur
2025 Termasuk Tahun Paling Panas Sepanjang Sejarah, Mengapa?
2025 Termasuk Tahun Paling Panas Sepanjang Sejarah, Mengapa?
LSM/Figur
Jelajah Mangrove di Pulau Serangan Bali, Terancam Sampah dan Sedimentasi
Jelajah Mangrove di Pulau Serangan Bali, Terancam Sampah dan Sedimentasi
LSM/Figur
Guru Besar IPB Sebut Tak Tepat Kebun Sawit Penyebab Banjir Sumatera
Guru Besar IPB Sebut Tak Tepat Kebun Sawit Penyebab Banjir Sumatera
LSM/Figur
Perkuat Profesionalisme, AIIR Jadi Organisasi Profesi Investor Relations Pertama di Indonesia
Perkuat Profesionalisme, AIIR Jadi Organisasi Profesi Investor Relations Pertama di Indonesia
LSM/Figur
13 Perusahaan Dinilai Picu Banjir Sumatera, Walhi Desak Kemenhut Cabut Izinnya
13 Perusahaan Dinilai Picu Banjir Sumatera, Walhi Desak Kemenhut Cabut Izinnya
LSM/Figur
Agroforestri Karet di Kalimantan Barat Kian Tergerus karena Konversi Sawit
Agroforestri Karet di Kalimantan Barat Kian Tergerus karena Konversi Sawit
LSM/Figur
Perkebunan Sawit Tak Bisa Gantikan Hutan untuk Serap Karbon dan Cegah Banjir
Perkebunan Sawit Tak Bisa Gantikan Hutan untuk Serap Karbon dan Cegah Banjir
Pemerintah
Di Balik Kayu Gelondongan yang Terdampar
Di Balik Kayu Gelondongan yang Terdampar
LSM/Figur
Survei LinkedIn 2025 Sebut Permintaan Green Skills di Dunia Kerja Meningkat
Survei LinkedIn 2025 Sebut Permintaan Green Skills di Dunia Kerja Meningkat
Swasta
Menunda Net Zero Picu Gelombang Panas Ekstrem, Wilayah Dekat Khatulistiwa Paling Terdampak
Menunda Net Zero Picu Gelombang Panas Ekstrem, Wilayah Dekat Khatulistiwa Paling Terdampak
LSM/Figur
Guru Besar IPB Sebut Kebun Sawit di Sumatera Bisa Jadi Hutan Kembali
Guru Besar IPB Sebut Kebun Sawit di Sumatera Bisa Jadi Hutan Kembali
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau