KOMPAS.com - Sektor swasta termasuk perusahaan multinasional membutuhkan adanya opsi suplai listrik yang beragam sehingga bisa lebih leluasa dalam memilih energi terbarukan.
Hal tersebut disampaikan Director of Government and Public Affairs Nike Indonesia Devi Kusumaningtyas dalam webinar bertajuk Urgensi dan Akselerasi Pengembangan Energi Terbarukan Melalui Pemanfaatan Bersama Jaringan (Power Wheeling) yang diselenggarakan Institute for Essential Services Reform (IESR), Rabu (25/9/2024).
Devi menyampaikan, 70 persen listrik yang dipasok untuk pabrik produksi, baik rekanan maupun milik Nike Indonesia, berasal dari energi terbarukan.
Baca juga: Kerja Sama dengan China, Indonesia Bisa Jadi Hub Manufaktur Energi Terbarukan
Pemanfaatan tersebut dibuktikan dengan sertifikat energi terbarukan atau Renewable Energy Certificate (REC) dari PLN.
Selain itu, sekitar 5 persen pasokan listrik untuk produksi produk Nike di Indonesia berasal dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap.
Akan tetapi, menurutnya capaian tersebut belumlah cukup. Sebagai perusahaan internasional yang tergabung dalam aliansi RE100, Devi menuturkan Nike berkomitmen memakai energi terbarukan 100 persen pada 2050.
Di sisi lain, pasar semakin menuntut produk yang semakin ramah lingkungan untuk seluruh rantai produksinya.
Baca juga: Jaringan Listrik Lintas ASEAN Penting Penetrasi Energi Terbarukan
"Kami dikejar target. Sayangnya pilihan kami (untuk suplai listrik) sangat terbatas. Kami berharap ke depan ada solusi untuk membuka opsi," kata Devi.
Menurutnya, hal yang penting direalisasikan adalah perusahaan bisa bernegosiasi langsung dengan produsen listrik.
Dengan demikian, harga jual-beli listrik bisa cocok satu sama lain dan konsumen listrik bisa meningkatkan bauran energi terbarukannya.
Menurutnya, dengan semakin sadarnya pelanggan mengenai krisis iklim, tuntutan untuk membuat rantai pasok produk yang semakin hijau menjadi semakin penting.
Baca juga: Teknologi Elektrolit Diklaim Bisa Tingkatkan Penyimpanan Energi Terbarukan
"Ke depan pemenang kompetisi global bukan hanya kompetitif dalam menghadapi pasar global," ucap Devi.
Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR Deon Arinaldo mengungkapkan, kebutuhan industri terhadap energi terbarukan meningkat seiring dengan tuntutan pasar internasional dengan berbagai kebijakan pengetatan emisinya.
Tuntutan tersebut mengisyaratkan, kebutuhan energi terbarukan bakal semakin meningkat dalam waktu dekat.
Menurutnya, pemerintah perlu menyediakan solusi untuk menjawab kebutuhan tersebut.
Baca juga: Jemput Energi Terbarukan, PLN Bakal Integrasikan Transmisi Lintas Pulau
Pasalnya, pengembangan energi terbarukan di Indonesia cenderung lambat dan tren target bauran energi terbarukan belum juga tercapai.
"Kepastian akan akses yang luas terhadap energi terbarukan perlu segera disediakan untuk menjawab kebutuhan industri, baik melalui power wheeling atau mekanisme lainnya," papar Deon
Sementara itu, Executive Vice President (EVP) Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PT PLN Warsono menyampaikan dari aspek hukum, skema power wheeling bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Dia menuturkan, skema power wheeling atau sewa jaringan listrik dimungkinkan sepanjang dilakukan untuk melayani konsumen di wilayahnya sendiri, bukan di wilayah usaha entitas lain.
Baca juga: Cetak Sejarah, 50 Persen Listrik Eropa Dipasok Energi Terbarukan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya