SISTEM pangan yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan merupakan topik yang sangat perlu didiskusikan hari ini.
Di satu sisi, dunia sedang menghadapi tantangan ketahanan pangan dengan banyak orang yang masih hidup dalam kekurangan.
Di sisi lain, limbah makanan menjadi masalah besar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Fakta mengejutkan, Indonesia menyumbang sekitar 13 juta ton limbah makanan per tahun menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO).
Ironisnya, di tengah melimpahnya limbah makanan, ada sekitar 8,34 persen penduduk Indonesia yang masih mengalami kekurangan pangan.
Tulisan ini menyoroti beberapa poin penting: kondisi limbah makanan di Indonesia, dampak buruk limbah makanan bagi lingkungan, krisis ketahanan pangan di tengah limbah makanan, bagaimana mengubah limbah makanan menjadi hidangan baru, pentingnya edukasi dan kesadaran publik, serta kolaborasi berbagai pihak dalam mengatasi limbah makanan.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2020 menunjukkan bahwa sampah makanan menyumbang sekitar 39,8 persen dari total limbah di Indonesia.
Jumlah ini bahkan lebih besar dibandingkan jenis sampah lain, seperti plastik, kertas, atau logam. Sampah makanan termasuk dalam kategori sampah organik yang secara alami dapat terurai.
Namun, apabila tidak dikelola dengan baik, sampah ini dapat menyebabkan dampak lingkungan serius, termasuk emisi gas rumah kaca yang memperburuk perubahan iklim.
Lebih jauh lagi, limbah makanan juga menjadi masalah etis. Di negara yang masih menghadapi masalah ketahanan pangan, keberadaan limbah makanan sebesar itu mencerminkan ketidakseimbangan distribusi dan konsumsi makanan.
Masyarakat urban, khususnya, sering kali terjebak dalam gaya hidup konsumtif yang cenderung boros dan kurang bijak dalam mengelola makanan.
Hal ini memicu terjadinya pembuangan makanan secara berlebihan, sementara masyarakat di daerah terpencil masih berjuang untuk mendapatkan akses pangan yang layak.
Meskipun sampah makanan adalah sampah yang dapat terurai secara alami, ia memiliki dampak serius terhadap lingkungan.
Ketika sampah makanan terbuang ke tempat pembuangan akhir (TPA), proses dekomposisi di lingkungan anaerobik (tanpa oksigen) menghasilkan gas metana.
Gas ini lebih berbahaya daripada karbon dioksida karena memiliki potensi 25 kali lebih kuat dalam memerangkap panas di atmosfer.
Menurut data United Nations Environment Programme (UNEP), limbah makanan global menyumbang sekitar 8-10 persen dari total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh manusia.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya